Meniti langkah menuju masa depan. Itulah tema yang kami buat untuk acara tutup tahun di kampus kami, kampus tercinta yang aku pasti akan bersedih hati bila meninggalkannya.Â
Tapi, gimana lagi, aku sudah lulus, tapi kok malah sedih ya? Aku nggak mau berpisah dengan teman dekatku, kami selalu bersama, dari yang awalnya tiga orang, semua wanita, tapi kini tinggal berdua, aku dan seorang lelaki setia.Â
Karena dulu aku pernah berharap, harusnya ada seorang pria ya, untuk cuci mata, itu yang selalu ada di pikiranku, tapi tak pernah kuungkap pada mereka, aku malu.Â
Entah mereka sebenarnya berpikir begitu atau tidak, aku tak tahu. Tapi, akhirnya aku mendapatkan itu, walau sudah tak bersama mereka. Belum karena Pak Dosen yang tak kan kulupa.
Awal mula kami kenal, pada saat aku mengulang mata kuliah yang dulu aku sangat nggak suka dengan sang dosen, dosen perempuan yang galak, sehingga nilaiku jeblog.Â
Trus semester berikutnya, baru aku ulang, dan senengnya, dapat dosen laki-laki yang punya sifat kebapakan dan memang sudah seorang bapak. Dari awal aku bertemu Pak Dosen, sudah sangat menyukai cara mengajar Beliau, tapi kok dua temanku itu tidak ya?Â
Tidak mengakui atau memang tidak suka, aku tak tahu. Ya, itulah awal perdebatan kami bertiga, yang akhirnya malah menjadi dekat satu sama lain. Lalu kami berusaha agar semester berikutnya mengambil hari dan jam yang sama untuk mata kuliah yang sama, kami kan satu angkatan, tapi sedari awal tak pernah satu kelas.
Pak Candra nama dosen favoritku, aku, bukan kami. Pak Dosen memang sudah berumur, tapi masih kelihatan muda, tapi bukan itu yang menarik, aku hanya menyukai cara mengajar Beliau. Aku pernah berpikir, gimana kalau kelak aku menjadi seorang dosen ya, terinspirasi dari Pak Candra dan aku ingin mengajar seperti Beliau, pasti mahasiswa suka, eh, tapi, tidak semua, dua temenku aja tidak suka.Â
Apa karena aku dan mereka berdua beda usia? Aku yang paling tua, trus selera kami berbeda? Mungkin. Pokoknya mereka bilang kalau tidak suka aja, titik.
Kok bisa ya, dosen seperti Pak Candra kurang peminat, sepertinya, satu kelas hanya aku yang suka. Atau ada yang suka tapi hanya memendam? Karena kampus kami bersebelahan dengan gedung bioskop, kadang di waktu tidak ada kuliah, kami sering menonton film, tapi selera kami bertiga beda, itu tadi, mungkin faktor usia, jadi kadang harus mengalah salah satu atau salah dua.Â
Aku suka tentang cinta, mereka lebih suka tentang horor, seru katanya, padahal mereka sering menutup mata saat menonton, wah, nggak asyik, aneh, udah bayar kok malah merem?
Namaku Kasih, dan kedua temanku, Yana dan Sifa, akhiran nama mereka huruf a, sifat mereka sama. Makanya karena akhiran namaku beda, sifatku juga berbeda dengan mereka. Mereka masih terlihat seperti anak kecil, pengennya dimanja dan aku yang harus bertanggung jawab memanjakan mereka.Â
Aku selalu mengajak dua temanku untuk konsultasi jika ada masalah dalam mengerjakan laporan, tapi mereka kadang enggan, karena aku bertanya pada Pak Candra. Lalu mereka tanya kepadaku setelah aku selesai konsultasi dengan Pak Candra, wah, dasar mereka, diajak nggak mau, giliran ada pertanyaan, tanya ke aku. Aku jadi kasihan dengan Pak Candra, kok mahasiswa kurang tertarik ya? Padahal Beliau mahakasih, seperti namaku, Kasih.
Karena penasaran, aku beranikan diri bertanya pada teman-temanku, "Teman, kenapa pada nggak suka sama cara ngajarnya Pak Candra? Ada apa? Apa yang salah? Kalian juga butuh, kok malah nggak mau konsultasi laporan, malah tanya ke aku?"Â
Semua awalnya diam, aku memperhatikan mereka selama beberapa detik, lalu akhirnya salah satu dari mereka bicara,"Kasih, aku nggak suka karena orangnya, bukan cara ngajarnya, dan Sifa juga sama, nggak suka sama orangnya." Aku bertanya lagi, "Maksudnya?" Sifa mencoba membantu jawaban Yana. "Memang kamu nggak merasa Sih? Emang nggak merasa ada yang aneh dari Pak Candra?"Â
Aku menggeleng. Entah kenapa mereka enggan menjawab, malah menghindar tanpa pamitan. Semenjak kejadian itu, hubungan kami semakin renggang, mereka berdua bersama dan aku sendiri. Kok seakan malah aku yang salah? Makanya mereka meninggalkanku, aku kan hanya tanya, karena aku tak tahu.
Pada suatu sore setelah mata kuliahku selesai, aku melihat Pak Candra menuju parkiran dosen, aku tak sengaja mengintipnya. Aku masih bertanya, apa sih yang aneh dari Beliau? Kok mereka tidak jujur dan malah meninggalkanku?Â
Aku melihat dari balik pohon apa yang sebenarnya Pak Candra mau lakukan? Di saat aku mengamati Beliau, tiba-tiba seseorang menepuk bahuku, "Hayo, lagi ngapain? Ngawasin Pak Candra? Kulaporin Kau." Aku menjawab dengan sedikit gemetar, "Jangan Mas, saya hanya penasaran, sebenarnya apa yang dilakukan Beliau sehabis mengajar?Â
Kok semua teman di kelas saya tidak suka dengan Beliau? Apa ada yang salah?" "Ehm, jadi Mbak belum tahu? Mbak anak baru?" tanya anak itu padaku. Aku mengangguk. Dia menarik tanganku dan mengajakku bertemu dengan Pak Candra.
"Lho, Kasih, Robi, ada apa ini?" tanya Pak Dosen. Aku tersipu malu, karena pasti Pak Candra akan menertawaiku, atau malah menghukumku atau mengurangi nilaiku. Ini gara-gara lelaki itu.Â
"Ini Pa, gadis ini mengawasi Papa dari balik pohon di sana, gerak-geriknya mencurigakan, makanya aku bawa ke sini," katanya sambil menunjuk pohon tempatku bersembunyi. Pak Candra tersenyum dan aku masih bertanya siapa lelaki ini hingga ia memanggil Papa? "Maaf Pak, saya tidak bermaksud begitu, saya hanya ingin mencari tahu, mengapa teman-teman saya di kelas tidak suka dengan Bapak?Â
Bukan cara ajarnya, tapi karena orangnya. Kalau boleh tahu, apa yang Bapak lakukan? Terutama setelah pulang dari mengajar," kataku sambil menunduk karena takut. "Mari, ikut dengan Bapak! Bapak naik sepeda motor sendiri, Kasih berboncengan dengan Robi, jangan takut, dia ini putra bapak," jawab Beliau sambil tersenyum.
"Mas, kita ini mau ke mana sih? Kok lewat daerah terpencil begini? Mau ke rumah? Atau mau ke mana?" tanyaku sambil ketakutan. "Kamu takut? Eh, siapa nama kamu tadi? Kasih? Pakai Ibu nggak?" tanya Mas Robi sambil bergurau.Â
"Iya, nama saya Kasih Mas, karena dulu Ibu saya ingin agar anaknya bisa menebar kasih pada orang di sekitarnya. Makanya, saya merasa kasihan dengan Pak Candra. Teman dekat saya malah menjauh dari saya, hanya karena saya membela Pak Candra," jawabku.
"Ini sudah sampai, selamat datang di gubug kami, Kasih, maaf kalau tidak berkenan, kondisinya seperti ini, mari masuk!" pinta Pak Candra. Aku hanya diam memandangi rumah itu dari luar, aku heran, Pak Candra kan dosen, kok rumahnya seperti ini? Sederhana, apa tidak salah?Â
"Ayo Kasih, jangan melamun saja!" pinta Mas Robi sambil menarik tanganku. Aku masuk ke ruang tamu nan mungil itu, sambil menaruh sepatuku di luar karena tidak mau mengotori lantai rumah itu. "Kasih, pakai saja sepatumu! Nanti kakimu kotor," kata Pak Candra sambil mengambilkan sepatuku lalu meletakkan di samping kakiku.
Aku mengamati foto-foto yang ada di sampingku, di sebuah meja bundar terbuat dari kayu. Kok tidak ada foto Pak Candra ya? Dari dalam, Mas Robi membawakan segelas air teh hangat dan kue kering sebagai temannya. "Silakan dimakan dan diminum Kasih!" pinta Mas Robi sambil menyodorkan toples plastik berwarna kuning padaku. Aku pun mengambil segenggam kue itu lalu memakannya perlahan.Â
Aku bertanya dalam hati, di mana Pak Candra? Sedari tadi masuk belum juga keluar menemui kami. "Mas, Pak Candra di mana? Nggak ada apa-apa kan?" tanyaku dengan penuh kekhawatiran. Mas Robi menggeleng. Lalu Pak Candra keluar menemui kami. Aku sedikit lega.
"Kasih, ada satu hal yang belum kamu mengerti kan? Maklum, kamu mahasiswi baru di kampus kita. Robi ini anak angkat Bapak, karena anak laki-laki bapak satu-satunya meninggal lima tahun yang lalu, Bapak kini hanya berdua dengan sang istri di rumah Bapak di kampung sebelah.Â
Makanya Bapak sering main ke sini bahkan menginap, begitu juga dengan Robi, karena Robi menjadi yatim-piatu semenjak ditinggal orang tuanya meninggal tiga tahun lalu. Jadi, kuliah Robi kami yang membiayai, tapi Robi enggan untuk meninggalkan rumah ini karena rumah ini menyimpan banyak kenangan bersama orang tuanya," dengan sangat jelas Pak Candra menerangkan.
"Jadi, Bapak dan Mas Robi bertemu saat di kampus?" tanyaku. "Bukan Kasih, saat itu, Bapak nggak sengaja menabrak kedua orang tua Robi, waktu mereka sedang menyeberang, karena waktu itu rem mobil Bapak blong, dan awalnya Bapak marah dengan diri Bapak sendiri, karena membuat Robi kehilangan kedua orang tuanya. Maka dari itu Bapak sangat merasa bersalah dan membiayai Robi sebagai tanda penyesalan dan permintaan maaf," jawab Pak Candra.Â
"Kenapa Mas tidak marah atau membenci Pak Candra? Malah bisa akur sampai detik ini?" tanyaku dengan heran. "Untuk apa seumur hidup begitu Kasih? Aku marah hanya di awal kok, hingga akhirnya aku harus menerima semua, toh Papa orang baik, bertanggung jawab," jawabnya sambil tersenyum. "Jadi, karena dicap sebagai pembunuh, makanya semua mahasiswa membenci Bapak?" tanyaku. Pak Candra mengangguk.
Aku semakin tahu, apa yang orang lain tahu tentang Pak Candra, walaupun itu terlambat, tapi aku selalu menganggap Beliau baik, bahkan setelah mendengar cerita mereka pun, masih terlihat baik, kasihan. Semenjak itu, aku jadi semakin dekat dengan Pak Candra dan Mas Robi. Akhirnya, teman baru.Â
Aku berusaha untuk medekati Sifa dan Yana, tapi mereka masih enggan untuk percaya pada ceritaku tentang Pak Candra, ya sudah, aku tak memaksa, tapi semoga mereka bisa kembali kepadaku, jadi, nantinya kami bisa berempat dengan satu pria.
     Â
     Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H