"Ilham mau ke mana? Kok nggak pamit aku ya? Apa karena aku belum menjawab atas ungkapan cintanya padaku?" tanyanya sambil menatapku. "Mending Kamu ke perpustakaan aja sekarang! Akan kutemani. Gimana?" ajakku. Ia mengangguk dan mengikutiku. Aku melihat Ilham duduk di sudut perpustakaan sendirian, aku memberi kode pada Jelita untuk mendatanginya. Mereka berbicara berdua, aku melihat mereka dari jauh.
Jelita akhirnya menerima buku itu, berhasil. Lalu Jelita meninggalkan Ilham dan berjalan membawa buku sambil menatapku tanpa kata. Ada ketidaksukaan pada wajah Jelita. Aku datang ke Ilham, "Ada apa? Wajahnya sungguh tak enak dilihat, tapi Ia mengambil buku itu."
Ilham diam sambil membelakangiku. Aku tepuk bahunya. Ia berbalik dan menunjukkan muka seramnya, darah segar menetes di wajahnya. Ia menatapku tajam dan membawa sebuah pisau di tangannya. Ia menusukkan pisau itu ke tubuhku. Dari belakang, Jelita datang membawa sebuah kapak dan mengayunkan kapak itu ke tubuhku. Mereka tersenyum penuh kebencian melihatku. Aku telah masuk ke jebakan mereka. Jebakan lima tahun setelah kepergian mereka.
Seseorang yang berdomisili di Yogyakarta dan memiliki nama pena Akhaya Noory yang berharap menjadi cahaya seperti nama asli dan nama pena nya. Pecinta warna hijau yang selalu ingin menyejukkan para pembaca. Memiliki hobi membaca sambil mendengar lagu kesukaan, tapi juga ingin tulisannya dikenang oleh orang-orang yang haus akan kata-kata yang menenangkan. Penulis bisa dihubungi melalui yovita.nurdiana@gmail.com atau ig @yovie_angel.
     Â
     Â
     Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H