Mohon tunggu...
Yovita Nurdiana
Yovita Nurdiana Mohon Tunggu... Penulis - Purchasing, pembaca mata dan penulis nama seseorang di setiap tulisannya

Membaca sambil mendengarkan musik favorit

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pesolek dan si Biru

17 Juli 2024   12:32 Diperbarui: 17 Juli 2024   12:57 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi memakai riasan warna biru (sumber gambar : pinterest.de/maria_l015/) 

Aku tak pernah tahu kapan kau tahu namaku, duhai pemilik ikan biru. Yang aku tahu, kau dulu selalu salah menyebutku. Kacamatamu itu, menambah pesonamu. Bajumu biru saat pertama kita bertemu. Kau tak pernah lelah menjajakan ikanmu berjalan kesana kemari, tanpa kenal lelah. Belum lama kau singgah di kota ini, kota di mana orang-orang merasa nyaman, tapi bagimu bukan karena nyaman, melainkan rasa sayangmu pada sang Ayah yang pernah sakit keras hingga kau bingung kapan harus pulang saat merantau. Dulu, adalah masa jayamu dengan kuliahmu di kampus ternama di kota Surabaya yang menjadi rebutan para manusia. Kini, kau harus mencari pekerjaan tetap dan masih selalu mencari untuk hidup kalian.

Saat bertemu, kau lambaikan tanganmu padaku, menawarkan ikanmu. Oh, aku tak suka ikan hias, aku hanya suka bersolek, hobi dan kini jadi bagian pekerjaanku. Tapi kau sudah bercerita banyak tentang hidupmu. Namanya Arya, seorang pejuang biru, karena dia suka warna biru, ikan yang dia jual pun biru. Sedangkan namaku Rita. Beberapa ikan, ia jual di pedagang ikan hias di sebuah pasar ikan, yang lain ia jual di rumah.

Aku pernah ke rumahnya dan mengikutinya saat di pasar ikan, entah kenapa, aku terharu dengan kerja kerasnya. Ayahnya sudah lanjut usia, mereka hanya hidup berdua. Hingga suatu ketika aku berkunjung ke rumahnya, yang ada hanya ayahnya. "Arya sedang ke pasar membeli sembako, tunggulah Nak, atau mau kau susul? Pasarnya hanya di situ," sambil menunjukkan arah. "Saya tunggu saja Paman," sambil ku letakkan tasku di kursi kayu teras rumahnya. "Mbak ini Mbak Rita bukan? Yang seminggu lalu berkunjung ke sini," kata Paman. Aku mengangguk.

Paman masuk, aku tak tahu apa yang kan beliau lakukan. Tiba-tiba Arya masuk halaman memakai baju merah sambil memberikan senyum kepadaku. Ia meminggirkan sepeda tuanya dan mulai menyapa, "Mbak Rita, mau beli ikan? Atau ada hal lain yang membuatmu sudi singgah di gubug kami?" Aku tersenyum, entah kenapa aku sedang tidak fokus padanya. Hingga Arya membangunkanku dari lamunku. "Maaf Arya, aku sedang melamun," kataku. "Soal apa?" tanyanya. "Kita, aku pengen nawarin kerjaan nih," jawabku. "Oh, kerjaan apa? Siapa tahu aku mampu," tanyanya ingin tahu. "Ikut aku sekarang bisa? Akan ku tunjukkan padamu," ajakku. Ia mengangguk dan masuk untuk memanggil ayahnya. "Paman, saya pinjam Arya ya?" tanyaku sambil mencium tangan Paman. "Pamit ya Pak," sahut Arya. Paman mengangguk.

Kami pun mendekati sepeda motorku, yang sedari tadi ku parkir di dekat pagar berwarna biru. "Arya, kamu yang depan ya?" pintaku. Ia hanya tersenyum. Di jalan, aku tak berani banyak kata, takut memecah konsentrasi Arya. Ia sudah tahu, tempat kerjaku di mana. Sepertinya, kantorku cukup terkenal. "Selamat siang Mbak Rita, cuti kok ke kantor? Bawa laki-laki lagi, pacar atau?" tanya security yang memang sudah cukup akrab denganku. Aku hanya tersenyum. Aku malu. Awas, nanti ku balas jika tidak ada Arya.

"Selamat pagi Pak Arya, kok bisa berdua dengan Mbak Rita?" tanya resepsionis berbaju ungu menyapa kami. "Lho, Mbak Ani kenal dengan Arya?" aku berbalik tanya. "Mbak ini gimana? Siapa pun kenal dengan Pak Arya. Sepertinya hanya mbak yang belum kenal," jawabnya sambil melirik ke arah Arya. Aku bingung, aku masih berdiri di dekat pintu masuk. Tiba-tiba Arya menarikku perlahan. Aku memandangnya, tapi ia tak memandangku. Ia membawaku ke cafe yang ada di kantorku, memesan sebuah minuman hangat dan semangkuk sup untukku.

"Makan dan minum dulu, kau pasti belum makan siang kan?" tanyanya. Aku tambah bingung, Beliau tahu tempat-tempat di kantorku. Sebenarnya, Beliau siapa? Aku menelan ludah. Ku beranikan diri bertanya padanya, "Arya. Eh maksud saya Pak Arya. Ehm, Bapak ini sebenarnya siapa ya? Kok Ani panggil Bapak dan bilang kalau sepertinya hanya saya yang belum kenal Anda?" "Sudah tanyanya? Atau ada lagi? Kenapa nggak minum atau makan dulu? Takut lipstiknya pudar? Atau make up nya hancur karena keringat? Kamu itu cantik Rita, tanpa make up pun cantik. Kamu cantik dari hatimu. Kamu peduli padaku, tapi kau belum tahu siapa aku, selain si miskin penjual ikan biru yang di ada di matamu. Aku ini pemilik dari kantor ini. Tapi aku memang hobi dengan pelihara si ikan biru. Makanya, aku tetap memelihara dan menjualnya. Lumayan kan kalau laku?" katanya panjang lebar padaku agar aku tahu.

Aku menggigit bibirku lalu minum karena sedari tadi menahan haus. Pak Arya menambahkan, "Gimana? Sudah lebih tenang? Sudah lebih baik? Sudah bisa bicara? Kok dari tadi diam? Terpesona sama saya?" Aku pun tertawa. "Lho, kok malah tertawa? Ditanya lho ini. Gimana Rita?" "Ehm, maaf Pak, saya baru tahu sekarang, baru seminggu kerja di sini, malah sok-sok an mau nawarin kerjaan, malah saya yang kena. Belum ada yang ngenalin ke saya soal pemilik kantor, malah saya sudah kenal sendiri. Saya jadi ndak enak," kataku sambil menggerutu. Aku dan Pak Arya sudah kenal sejak aku masih di kantor lama, sekitar tujuh bulan yang lalu, tapi tak pernah sedekat ini.

"Maaf Pak, lalu rumah Paman itu rumah siapa? Tak mungkin rumah Bapak kan?" gurauku sambil melihat matanya yang sayu. Makanya aku beranikan diri bertanya seperti itu. Apa yang membuatnya sedih secara tiba-tiba? "Bapak adalah Bapak angkatku, sedari aku kecil, aku dirawat Beliau, karena orang tua kandungku tinggal di luar kota, di Surabaya, lalu aku pindah di kota ini setelah lulus kuliah karena meneruskan usaha Papaku, dengan membuka anak perusahaan di Solo. Jadi aku sering tinggal di rumah Bapak," jawabnya sambil meneteskan air mata.

Aku memegang bahunya dan larut dalam kesedihannya. "Aku tak apa-apa Rita," kata Pak Arya sembari menunjukkan senyumnya. "Pak, Bapak bisa mampir ke rumah saya setelah menjual ikan hias, bukankah ingin melihat saya saat tidak sedang bersolek? Bapak bisa berkunjung di pagi saat semua orang masih tidur nyenyak, sehingga setelah bangun tidur, saya membuka pintu untuk Bapak dan Bapak akan melihat wajah bangun tidur saya," gurauku.

Pak Arya hanya tersenyum, lalu tiba-tiba mengeluarkan kata-kata yang membuatku tak menyangka,"Rita, kamu sudah punya pacar? Atau sudah menaruh hati pada seorang laki-laki?" Aku menelan ludah sambil menggeleng. Pak Arya tersenyum kembali lalu duduk di sampingku. "Bolehkah hari ini aku mampir ke rumahmu? Kamu cuti kan? Jadi jika suatu saat aku ingin melihat muka bangun tidurmu, aku sudah tahu rumahmu dan langsung ke rumahmu di pagi buta dan ku pastikan kau masih tidur nyenyak,"pinta Pak Arya.

"Pak, akan lebih menyenangkan lagi jika Bapak menikah dengan saya, pasti akan setiap hari melihat muka bangun tidur saya, polos, jelek, tanpa bersolek. Eh, maaf Pak," gurauku sambil menutup mulutku. "Kenapa tidak?" tanya Pak Arya seolah mengiyakan. Aku tersipu malu, lalu ku tanyakan hal itu kepada Pak Arya, "Maaf Pak, Bapak bercanda bukan?" "Menurutmu?" tanya Pak Arya sambil menaikkan alisnya yang tebal. Aku pun terdiam, dalam hati aku masih berpikir, apa maksud dari perkataan Pak Arya.

"Rita," sapa Pak Arya sambil menepuk bahuku. Aku menatap mata Pak Arya dengan tajam, begitupun Pak Arya, dan kami saling memandang. Ternyata aku terpesona pada matanya, mata yang sangat indah ternyata. Aku juga melihat senyumnya, yang sangat menawan, oh, inikah cinta? Atau hanya sekedar ketertarikan semata? Pak Arya tak kunjung bicara, Ia masih menatapku lalu melemparkan senyumnya yang masih malu. Aku membalas senyum kecilnya. Entah mengapa Pak Arya semakin mendekatiku dan hampir, oh tidak, aku tak bisa melanjutkannya. Aku ini siapa? Hanya seorang pesolek yang tak punya apa-apa selain keahlianku bersolek, beda dengan Pak Arya pemilik dari perusahaan tempatku bernaung.

Tiba-tiba ponselku berbunyi, kami sudah tak saling menatap lagi, karena aku sibuk mencari ponselku yang entah ku taruh mana tapi suaranya sampai ke hati. Tetapi Pak Arya mencegahku mengambil ponsel itu dengan memegang tangan kecilku nan halus. Aku berbalik memandang Pak Arya sambil menelan ludah. Pak Arya berbisik kepadaku, "Rita, maukah Kau menikah denganku?" Aku menganga tanda tak percaya. Tak mungkin, ini hanya mimpi, aku pun menunduk. "Aku serius Rita, tatap mataku yang pasti akan selalu mengatakan kejujuran, apa adanya! Apa Kau masih tak percaya padaku? Sayangku, jawablah aku!" tambah Pak Arya.

Aku menelan ludah lagi sambil menatap matanya. Aku ingin menjawab, tapi entah kenapa satu kata pun tak keluar dari mulutku? Apakah ini? Mengapa aku jadi membisu begini? Seandainya Pak Arya tahu isi hatiku, tanpa perlu ku jawab. Apakah mungkin? Apakah Pak Arya bisa seperti itu? Membaca pikiranku di saat aku tak bisa berkata, padahal aku sangat ingin sekali berkata, "Ya, aku bersedia Pak." Pak Arya masih menatapku lalu meninggalkanku karena aku tak menjawab apapun.

Setelah Pak Arya berjalan beberapa langkah meninggalkanku, aku pun berteriak," Pak Arya, saya bersedia menikah dengan Bapak, jangan pergi pak, tunggu!" kataku sambil membereskan barang-barangku yang sedari tadi menjadi saksi kami. Pak Arya berbalik dan berkata, "Tak perlu ke sini Rita, tetaplah di situ, biarkan aku datang menemuimu, tenang saja, duduklah kembali dan selesaikan makan mu yang masih setengah piring itu! Minum mu juga masih ada setengah gelas lebih, sayang kalau tak habis, jangan kebiasaan menyisakan makanan atau minuman, masih beruntung bisa makan dan minum, masih banyak di luar sana yang tak bisa makan dan minum enak seperti kita hari ini," kata Pak Arya sambil tersenyum melihat tingkah ku.

Pak Arya duduk bersamaku, kali ini tidak di hadapanku, tetapi di sampingku, oh, aku bahagia. Lalu aku mencoba mengatakan jawaban itu kepadanya, "Pak, mohon maaf, saya boleh menjawab pertanyaan Bapak tadi di rumah saya? Nanti mampir ke rumah selama beberapa menit, tunggu saya lalu lihatlah saya kembali! Apakah Bapak bersedia?" "Tentu saja, jangankan beberapa menit, beberapa jam saja aku bersedia kok. Bahkan harus menunggu hingga fajar tiba, aku pasti sangat bersedia," jawab Pak Arya dengan sangat mudahnya.

Selama perjalanan, aku hanya diam, aku masih kepikiran tentang apa yang akan dirasakan atau dilakukan Pak Arya terhadapku saat nanti di rumahku. Pak Arya menghentikan sepeda motornya, aku masih terdiam dan tak sadar motor ini berhenti. "Apakah kita sudah sampai? Benarkah ini rumahmu? Rita, kok malah diam?" tanya Pak Arya padaku karena aku masih membisu. "Eh, maaf Pak. Iya benar, kita sudah sampai," jawabku sambil turun dari sepeda motor.

"Maaf ya Pak, rumah kami sederhana, pasti tak semegah rumah Bapak di sana, yang belum saya kunjungi," kataku merendah. "Tenang Rita, aku pastikan Kau akan ke sana, tidak hanya sejenak, bahkan bisa tinggal di sana bersamaku," kata Pak Arya dengan penuh harap. Aku melirik, ingin bertanya apa maksudnya, karena aku nggak mau kepedean, takut salah mengartikan. "Jika Kau bersedia menikah denganku, tapi pasti bersedia, aku yakin. Karena jika aku yakin dan keinginanku selalu ku ucapkan, apalagi di saat bersama orang yang ku inginkan, pasti terkabul. Aku pernah membacanya dalam sebuah buku, begitu katanya," kata Pak Arya dengan pedenya. Malah Beliau yang pede, bukan aku ya, maksudku kami sama-sama pede, tapi lebih pedean Beliau.

"Masuk Pak, saya buatkan teh jahe sebentar ya?" paksaku sambil tersenyum. "Kau tahu minuman kesukaanku?" tanya Pak Arya seperti menyindirku. "Tahu dong Pak, kan tadi Bapak pesen teh jahe, kalau di rumah Bapak juga selalu memberikan teh jahe, makanya saya selalu stok, jaga-jaga kalau Bapak ke sini, ternyata benar kan?" jawabku sambil masuk ke dapur. "Sabar ya Pak, saya sedang menyeduhnya. Nikmati pemandangan yang ada dari balik jendela!" pintaku karena rumahku di area persawahan.

"Kamu sendirian di rumah ini? Padahal aku pengen mengenal orang tuamu sekaligus memintamu sebagai pasangan hidupku. Tapi kalau mereka lama, aku bisa nginep sini kan Rita?" gurau Pak Arya. Aku memukul bahunya dengan bantal sofa dan kami masih saja bertatap mata. Tapi tatapan kami diganggu oleh kedatangan Ayah dan Ibu. Aku memberikan sapaan dan mencium tangan kedua orang tuaku. Mereka bertiga duduk, aku ke dapur untuk menyiapkan minuman karena air pasti telah mendidih. Tapi sesekali aku melirik ke ruang tamu, memandangi Pak Arya yang sudah mulai merayu orang tuaku.

"Saya mencintai putri Bapak dan Ibu, saya ingin menikahi Rita. Saya melihat kebaikan hatinya Pak, bukan karena Rita hobi bersolek. Bahkan saya terima apapun kondisi wajahnya saat Ia menghapus riasan wajahnya. Apakah boleh saya menikah dengannya?" tanya Pak Arya yang bercerita tentangku apa adanya. Aku tersenyum mendengar Ia berkata, memintaku dengan melebih-lebihkanku. Aku keluar, yang dari tadi sudah tak tahan mengutarakan isi hatiku pada orang tuaku. Selama ini memang aku sudah ceritakan siapa Pak Arya, tapi sebagai pemilik ikan biru, bukan sebagai pemilik perusahaanku.  
       
"Ayah, Ibu, ini Pak Arya yang dulu sering aku ceritakan, yang dulu pemilik ikan biru. Malah ternyata Beliau adalah pemilik perusahaan, aku kan jadi malu dan nggak enak ini. Tapi, aku terlanjur menaruh hati pada Pak Arya," kataku sambil senyum-senyum sendiri. Ayah berdeham, sambil melirikku. "Ayah tertarik dengan ceritamu yang dulu kepada kami Rita. Sekarang, Ayah sudah bertemu dengan tokoh utama. Ayah bahagia jika kamu bahagia. Jika kamu terima Pak Arya, maka kami terima. Iya kan Bu?" tanya Ayah dengan melemparkan seyum kepada Ibu. Ibu mengangguk tanda setuju.

"Rita, kapan aku bisa melihat wajah cantikmu yang alami tanpa make up? Aku sudah tak sabar, pasti cantik, asli, tanpa tambahan bumbu," gurau Pak Arya, eh Mas Arya saja. "Tunggu ya sayang! Nggak sampai satu jam aku kembali, dan lihatlah aku seperti yang Kau mau!" pintaku pada Mas Arya karena Beliau sudah tak sabar pastinya. Aku masuk kamar guna menghapus riasan wajahku. Kurang lebih lima belas menit setelah itu, aku keluar, hendak memanggil Mas Arya, tapi nanti tidak seru, tidak terkejut. Aku langsung memeluknya dari belakang di saat Mas Arya sedang asyik menikmati indahnya lampu yang menyinari sawah di samping rumahku.

"Sayang, Kau membuatku..." Mas Arya tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. "Membuat apa? Kok malah nggak bisa lanjut ini gimana? Ada apa?" tanyaku penasaran. "Kamu cantik sekali, malah lebih cantik jika tanpa make up, lebih alami. Lagipula, hatimu sudah cantik," puji kekasih baruku. "Awalnya hobi dan kini jadi pekerjaan, bukan paksaan lho sayangku," kataku sambil menyentuh pipinya. "Tapi aku lebih suka Kau begini, kalau gitu, besok ku pindah Kau ke bagian lain, biar tak usah bersolek, berlebihan lagi," gurau Mas Arya.
Aku terdiam sejenak bertanya mau dipindah ke mana. "Bingung ya? Mikir ya? Nggak usah bingung! Tak kasih tahu. Kamu akan ku pindah ke hatiku, walau sudah ada si ikan biru, tapi tetaplah kamu yang lebih indah dari si biru itu, dan akan selalu cantik dari hatimu. Indahmu juga terpancar dari kelakuanmu, pribadimu." Aku bahagia mendengar kalimat itu dari calon suamiku, pemilik ikan biru dan pemilik hatiku. Dulu aku tak pernah percaya diri dengan wajahku yang tidak ayu, kadang aku cemburu dan iri dengan wanita lain yang lebih cantik, bahkan dengan pria yang wajahnya mulus tanpa cacat. Makanya, aku jadikan bersolek itu sebuah hobi, untuk menutupi, tapi sekarang, tidak lagi, karena seseorang telah membuatku menerima diri.

           

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun