Mohon tunggu...
Yovita Nurdiana
Yovita Nurdiana Mohon Tunggu... Penulis - Purchasing, pembaca mata dan penulis nama seseorang di setiap tulisannya

Membaca sambil mendengarkan musik favorit

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pesolek dan si Biru

17 Juli 2024   12:32 Diperbarui: 17 Juli 2024   12:57 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi memakai riasan warna biru (sumber gambar : pinterest.de/maria_l015/) 

Pak Arya hanya tersenyum, lalu tiba-tiba mengeluarkan kata-kata yang membuatku tak menyangka,"Rita, kamu sudah punya pacar? Atau sudah menaruh hati pada seorang laki-laki?" Aku menelan ludah sambil menggeleng. Pak Arya tersenyum kembali lalu duduk di sampingku. "Bolehkah hari ini aku mampir ke rumahmu? Kamu cuti kan? Jadi jika suatu saat aku ingin melihat muka bangun tidurmu, aku sudah tahu rumahmu dan langsung ke rumahmu di pagi buta dan ku pastikan kau masih tidur nyenyak,"pinta Pak Arya.

"Pak, akan lebih menyenangkan lagi jika Bapak menikah dengan saya, pasti akan setiap hari melihat muka bangun tidur saya, polos, jelek, tanpa bersolek. Eh, maaf Pak," gurauku sambil menutup mulutku. "Kenapa tidak?" tanya Pak Arya seolah mengiyakan. Aku tersipu malu, lalu ku tanyakan hal itu kepada Pak Arya, "Maaf Pak, Bapak bercanda bukan?" "Menurutmu?" tanya Pak Arya sambil menaikkan alisnya yang tebal. Aku pun terdiam, dalam hati aku masih berpikir, apa maksud dari perkataan Pak Arya.

"Rita," sapa Pak Arya sambil menepuk bahuku. Aku menatap mata Pak Arya dengan tajam, begitupun Pak Arya, dan kami saling memandang. Ternyata aku terpesona pada matanya, mata yang sangat indah ternyata. Aku juga melihat senyumnya, yang sangat menawan, oh, inikah cinta? Atau hanya sekedar ketertarikan semata? Pak Arya tak kunjung bicara, Ia masih menatapku lalu melemparkan senyumnya yang masih malu. Aku membalas senyum kecilnya. Entah mengapa Pak Arya semakin mendekatiku dan hampir, oh tidak, aku tak bisa melanjutkannya. Aku ini siapa? Hanya seorang pesolek yang tak punya apa-apa selain keahlianku bersolek, beda dengan Pak Arya pemilik dari perusahaan tempatku bernaung.

Tiba-tiba ponselku berbunyi, kami sudah tak saling menatap lagi, karena aku sibuk mencari ponselku yang entah ku taruh mana tapi suaranya sampai ke hati. Tetapi Pak Arya mencegahku mengambil ponsel itu dengan memegang tangan kecilku nan halus. Aku berbalik memandang Pak Arya sambil menelan ludah. Pak Arya berbisik kepadaku, "Rita, maukah Kau menikah denganku?" Aku menganga tanda tak percaya. Tak mungkin, ini hanya mimpi, aku pun menunduk. "Aku serius Rita, tatap mataku yang pasti akan selalu mengatakan kejujuran, apa adanya! Apa Kau masih tak percaya padaku? Sayangku, jawablah aku!" tambah Pak Arya.

Aku menelan ludah lagi sambil menatap matanya. Aku ingin menjawab, tapi entah kenapa satu kata pun tak keluar dari mulutku? Apakah ini? Mengapa aku jadi membisu begini? Seandainya Pak Arya tahu isi hatiku, tanpa perlu ku jawab. Apakah mungkin? Apakah Pak Arya bisa seperti itu? Membaca pikiranku di saat aku tak bisa berkata, padahal aku sangat ingin sekali berkata, "Ya, aku bersedia Pak." Pak Arya masih menatapku lalu meninggalkanku karena aku tak menjawab apapun.

Setelah Pak Arya berjalan beberapa langkah meninggalkanku, aku pun berteriak," Pak Arya, saya bersedia menikah dengan Bapak, jangan pergi pak, tunggu!" kataku sambil membereskan barang-barangku yang sedari tadi menjadi saksi kami. Pak Arya berbalik dan berkata, "Tak perlu ke sini Rita, tetaplah di situ, biarkan aku datang menemuimu, tenang saja, duduklah kembali dan selesaikan makan mu yang masih setengah piring itu! Minum mu juga masih ada setengah gelas lebih, sayang kalau tak habis, jangan kebiasaan menyisakan makanan atau minuman, masih beruntung bisa makan dan minum, masih banyak di luar sana yang tak bisa makan dan minum enak seperti kita hari ini," kata Pak Arya sambil tersenyum melihat tingkah ku.

Pak Arya duduk bersamaku, kali ini tidak di hadapanku, tetapi di sampingku, oh, aku bahagia. Lalu aku mencoba mengatakan jawaban itu kepadanya, "Pak, mohon maaf, saya boleh menjawab pertanyaan Bapak tadi di rumah saya? Nanti mampir ke rumah selama beberapa menit, tunggu saya lalu lihatlah saya kembali! Apakah Bapak bersedia?" "Tentu saja, jangankan beberapa menit, beberapa jam saja aku bersedia kok. Bahkan harus menunggu hingga fajar tiba, aku pasti sangat bersedia," jawab Pak Arya dengan sangat mudahnya.

Selama perjalanan, aku hanya diam, aku masih kepikiran tentang apa yang akan dirasakan atau dilakukan Pak Arya terhadapku saat nanti di rumahku. Pak Arya menghentikan sepeda motornya, aku masih terdiam dan tak sadar motor ini berhenti. "Apakah kita sudah sampai? Benarkah ini rumahmu? Rita, kok malah diam?" tanya Pak Arya padaku karena aku masih membisu. "Eh, maaf Pak. Iya benar, kita sudah sampai," jawabku sambil turun dari sepeda motor.

"Maaf ya Pak, rumah kami sederhana, pasti tak semegah rumah Bapak di sana, yang belum saya kunjungi," kataku merendah. "Tenang Rita, aku pastikan Kau akan ke sana, tidak hanya sejenak, bahkan bisa tinggal di sana bersamaku," kata Pak Arya dengan penuh harap. Aku melirik, ingin bertanya apa maksudnya, karena aku nggak mau kepedean, takut salah mengartikan. "Jika Kau bersedia menikah denganku, tapi pasti bersedia, aku yakin. Karena jika aku yakin dan keinginanku selalu ku ucapkan, apalagi di saat bersama orang yang ku inginkan, pasti terkabul. Aku pernah membacanya dalam sebuah buku, begitu katanya," kata Pak Arya dengan pedenya. Malah Beliau yang pede, bukan aku ya, maksudku kami sama-sama pede, tapi lebih pedean Beliau.

"Masuk Pak, saya buatkan teh jahe sebentar ya?" paksaku sambil tersenyum. "Kau tahu minuman kesukaanku?" tanya Pak Arya seperti menyindirku. "Tahu dong Pak, kan tadi Bapak pesen teh jahe, kalau di rumah Bapak juga selalu memberikan teh jahe, makanya saya selalu stok, jaga-jaga kalau Bapak ke sini, ternyata benar kan?" jawabku sambil masuk ke dapur. "Sabar ya Pak, saya sedang menyeduhnya. Nikmati pemandangan yang ada dari balik jendela!" pintaku karena rumahku di area persawahan.

"Kamu sendirian di rumah ini? Padahal aku pengen mengenal orang tuamu sekaligus memintamu sebagai pasangan hidupku. Tapi kalau mereka lama, aku bisa nginep sini kan Rita?" gurau Pak Arya. Aku memukul bahunya dengan bantal sofa dan kami masih saja bertatap mata. Tapi tatapan kami diganggu oleh kedatangan Ayah dan Ibu. Aku memberikan sapaan dan mencium tangan kedua orang tuaku. Mereka bertiga duduk, aku ke dapur untuk menyiapkan minuman karena air pasti telah mendidih. Tapi sesekali aku melirik ke ruang tamu, memandangi Pak Arya yang sudah mulai merayu orang tuaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun