- Terminologi Restorative Justice:Â
Menurut Mahfud, Md, Pendekatan dalam Penegakan Hukum Pidana yang mengusahakan Penyelesaian Secara Damai dengan menjadikan hukum sebagai pembangun harmoni yang bukan sekedar menguhukum pelaku dengan maksud membangun kondisi keadilan dan keseimbangan antara pelaku kejahatan, korban kejahatan dan masyarakat.
Menurut Eddy Os Hiariej, bentuk pendekatan Penyelesaian Perkara Menurut Hukum Pidana Dengan Melibatkan Pelaku Kejahatan, Korban, Keluarga Korban, Atau Pelaku Dan Pihak Lain Yang Terkait Untuk Mencari Penyelesaian Yang Adil Dengan Menekankan Pada Pemulihan Kembali Pada Keadaan Semula Dan Bukan Pembalasan.
Menurut Indrianto Seno Adji: Menyelesaikan permasalahan hukum di luar pengadilan juga dapat dilakukan melalui pendekatan Economic Analysis of Law (EAL) yang bertujuan akhir untuk meningkatkan manfaat yang terukur bagi social welfare maximization.Â
Sehingga suatu penghapusan pidana dari kewenangan aktif penyidik terhadap pemahaman "tindakan lain" dalam konteks Out of Court Settlement sesuai asas keadilan restoratif adalah tindakan yang "Doelmatigheid" yang dibenarkan secara hukum
- Dasar pelaksanaan Restorative Justice di Indonesia:
Ditingkat Penyelidikan hingga penyidikan Kepolisian, terdapat beberapa aturan pelaksanaan restorative justice di kepolisian, yaitu: SK Kapolri Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Perkara Pidana. Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, pada Pasal 12 : proses penyidikan dapat dilakukan restorative justice. Peraturan Polisi Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restorative.Â
Ditingkat Kejaksaan, Restorative justice diatur dalam Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif. Sedangkan pada tingkat peradilan, KEP Dirjen Badillum MA RI No. 1691/DJU/SK/PS/0012/2020, yang direncanakan akan dilanjutkan ke tingkat Peraturan Mahkamah Agung.
Agar dalam pelaksanaan penyelidikan atau penyidikan diperlukan pedoman pada pelaku : 1). Tingkat kesalahan pelaku relative tidak berat, yakni kesalahan (schuld/mens rea) dalam bentuk kesengajaan (dolus atau opzet), terutama kesengajaan (dolus atau opzet), terutama kesengajaan sebagai maksud dan tujuan.Â
Pertimbangan berikutnya adalah bahwa pelaku bukan residivis. Proses penyidikan suatu tindak pidana merupakan penentuan dapat atau tidaknya suatu perkara pidana dilanjutkan ke proses penuntutan dan peradilan guna mewujudkan hukum, yaitu: keadilan, kepastian hukum, dan pemanfaatan dengan mengedepankan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.Â
Tidak semua perkara pidana dapat di-restoratif justice, apalagi jika menimbulkan kerugian yang besar bagi negara. Misalnya Korupsi, money loundering, Â human trafficking, peredaran narkotika, pencetakan uang palsu, makar, terorisme, dll.
Metode penegakan hukum di Indonesia menunjukkan kecenderungan mengikuti perkembangan keadilan dan masyarakat terutama berkembangnya keadilan restoratif (restorative justice).  Model penyelesaian perkara dengan restorative justice ini  dibebani kewajiban terhadap pelaku kejahatan yang dengan kesadarannya, mengakui kesalahannya.Â
Pelaku diwajibkan meminta maaf dan mengembalikan keruskan hubungan , mengganti kerugian kepada korban, dengan tujuan semata-mata untuk mengembalikan keadaan seperti sebelum terjadinya tindak kejahatan. Jika metode ini kerap kali dilakukan dan berhasil, maka akan berpengaruh pada kondisi yang lebih baik dimana Negara tidak dibebani persoalan over capacity narapidana di dalam penjara.
Penerapan prinsip restorative justice dalam penyelidikan dan penyidikan adalah demi kepentingan umum dan rasa keadilan para pihak dan masyarakat pada umumnya.Â
Prinsip keadilan restorative tidak dimaknai sebagai penghentian perkara , tetapi lebih luas dan medasar adalah pencapaian keadilan semua pihak yang teribat dalam perkara pidana.
Penerapan Restorative justice dalam hukum pidana juga mengacu pada Pasal 76 ayat (1) KUHAP yang menegaskan bahwa seseorang tidak dapat dituntut dua kali dalam perkara yang sama. Pada Pasal 7 atau (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012.
        Syarat formil untuk terpenuhinya restorative justice adalah :
- Surat permohonan perdamaian kedua belah pihak (pelapor dan terlapor)
- Surat permohonan perdamaian (acta van dading) dan penyelisihan para pihak yang berperkara (pelapor, dan/atau keluarga pelapor, terlapor dan/atau keluarga terlapor dan perwakilan dari tokoh masyarakat diketahui oleh penyidik).
- Berita Acara Pemeriksaan tambahan pihak yang berperkara
- Rekomendasi gelar perkara yang menyetujui penyelesaian keadilan restorative
- Pelaku tidak keberatan atas tanggungjawab, ganti rugi, atau dilakukan dengan sukarela
- Semua tindak pidana dapat dilakukan restorative justice terhadap kejahatan umum yang tidak menimbulkan korban manusia
- Upaya restorative justice bertujuan  mengembalikan hubungan yang harmonis antara pelaku, korban, serta masyarakat. Penyelidik / penyidik bertindak sebagai mediator. Kesepakatan para pihak dituangkan dalam suatu perjanjian perdamaian dan pencabutan hak menuntut dari organ perlu dimintakan penetapan hakim melalui jaksa, untk menggugurkan kewenangan menuntut dari korban maupun penuntut umum.
- Setelah menerima permohonan perdamaian dari kedua belah pihak, penyidik akan meneruskan permohonan perdamaian kepada atasan (Kabareskrim/Kapores/Kapolda) kemudian ditetapkan waktu pelaksanaan penandatanganan pernyataan perdamaian. Lalu dilaksanakan konferensi yang ditandatangani dan melibatkan semua pihak. Membuat Nota Dinas kepada pengawas untuk dilaksanakan gelar perkara khusus untuk tujuan penghentian perkara. Setelahnya disusun kelengkapan administrasi dan dokumen gelar perkara. Surat Perintah Penghentian Penyelidikan/ Penyidikan dan Surat Ketetapan Penghentian Penyelidikan / Penyidikan dengan alas an Restorative Justice.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H