Mohon tunggu...
Nina
Nina Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Satu Anak

Ibu satu anak yang senang berpetualang keliling kota dan menulis cerita di andrewandme.blogspot.com. Join our dates at IG @DateWithDudu / #DateWithDudu. Sherlockian. ELF. My heart draws a dream.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rahasia Milik Secangkir Kopi Hitam

21 Agustus 2016   06:57 Diperbarui: 21 Agustus 2016   08:11 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Mamaku suka kopi hitam loh, Om. Yang tidak pakai krim dan tidak pakai gula.”

“Ssssst.” Anjani mengusir bocah cengengesan yang sedari tadi duduk manis di meja sebelahnya. “Mama lagi meeting, kamu balik nonton Youtube sana.”

“Jadi Mama kok galak amat, pantas tidak laku.” Si bocah melengos dan memasang kembali earphonenya.

Anjani kembali menghadap ke laki-laki yang ada di depannya, yang sudah tertawa ngakak mendengar percakapan barusan. “Sorry ya, Ndre. Emang bawel nih anaknya. Tadi aku mau tinggal, dia ngotot mau ikut buat cari wifi.”

“It’s okay. Anak kayak gitu kan artinya pintar.”

Anjani mengangkat bahunya, mengambil kopi yang masih mengeluarkan asap dan menyeruput sedikit. Enak. Hari itu coffee of the day yang ditulis di papan adalah Toraja. Kopinya harum, agak asam dan tidak terlalu pekat. Cocok untuk menemani meeting brainstorming proyek properti, yang merupakan alasan utamanya duduk berhadap-hadapan dengan Andre di coffee shop langganan mereka.

Andre adalah pemilik sebuah agency desain ternama di ibukota. Proyeknya banyak, dan banyak diantaranya yang jatuh ke tangan Anjani, seorang penulis lepas yang membesarkan putranya, Edward, seorang diri. Meeting dengan Andre sudah jadi rutinitas karena dari perusahaan Andrelah sebagian besar pemasukkannya datang. Untuk biaya hidup, biaya sekolah dan biaya ngopi. Andre tidak pernah komplain kalau si bocah dibawa meeting karena katanya dia suka anak-anak dan keponakannya banyak. Tapi Andre tidak minum kopi dan tidak mengerti kenapa Anjani suka sekali dengan kopi hitam.

“Ed, kenapa Mamamu suka kopi hitam?”

“Kata Mama, kalau pakai gula nanti diabetes. Terus krimer dan susu bikin gendut. Nanti Mama tidak dapat pacar kalau gendut.”

“Emang Mama kamu gendut?”

“Mama pernah bilang kalau tangannya sudah sebesar paha ayam.”

Andre tertawa lagi. Sementara Edward dengan santainya sudah kembali memasang earphone warna putih dan tenggelam ke dalam video Youtube yang ada di tabletnya.

“Ih, udah dibilangin biar ngga banyak omong.”

“Anak kecil kan jujur, An.”

“Ngga bisa jaga rahasia.”

“Justru kamu yang kebanyakan rahasia. Sampai hitam pekat seperti kopi kesukaanmu itu.”

“Apa hubungannya?”

“Sampai kapan kamu mau rahasiakan Ed dari papanya?”

“Halah, yang sudah berlalu tidak perlu dibahas lagi.”

“Berlalu bagaimana, orang anaknya juga masih ada di sini. Memangnya Ed tidak pernah tanya?”

Anjani menaikkan ujung kiri bibirnya. Dia sebal dengan pertanyaan begini. Andre selalu logis dan mendorongnya untuk mengenalkan Ed yang tahun depan masuk SD itu pada sang ayah. Menurut Andre, sang ayah berhak mengetahui keberadaan si anak, dan sebagai laki-laki pasti akan berbesar hati berusaha mengenal anaknya. Yah, itu kan kalau semua laki-laki satu pikiran dengan Andre, batinnya.

Anjani menyeruput kopinya lagi. Masih hangat tapi sudah terasa tanda-tanda oksidasi. Agak lebih asam dari tegukan pertama. Jadi harus cepat-cepat dihabiskan kalau tidak mau kembung karena asam lambung. Apalagi Kopi Toraja ini sudah lumayan asam awalnya. Se-asam ucapan dan sindiran Andre. Sepertinya si barista salah menentukan jenis coffee of the day. Atau mungkin next time meetingnya lihat-lihat dulu, jangan bertemu kopi Toraja.

“Ya sudah kalau tidak mau dibahas. Aku kan cuma bilang.”

“Iya, kamu bilang di setiap meeting kita.”

“Aku cuma kasihan sama ayahnya, kalau kamu terus-terusan diam saja. Pasti dia sebenarnya mau bertemu, cuma tidak berani ngomong sama kamu. Soalnya kamu galak sih.”

Anjani bertahan tidak mengguyur sisa kopi yang sudah semakin asam itu ke muka Andre yang cengar-cengir. Sialan memang laki-laki satu ini, untung banyak kasih proyek.

***

Anjani memasuki coffee shop kesayangannya itu bersama Edward seminggu kemudian. Hari ini tanpa Andre karena dia berencana nongkrong sesorean untuk menyelesaikan pekerjaan kemarin. Berdiri di depan counter, Anjani membaca papan Coffee of The Day yang selalu ditulis dengan kapur itu. Berubah setiap hari. Pagi itu kopinya Bali, bukan favorit Anjani karena rasa kopi ini tidak umum dan kurang berat untuk pencinta kopi yang akut. Konon Kopi Bali Kintamani ditanam bersama dengan pohon jeruk jadi aroma dan rasanya sedikit berbeda. Terlalu ceria. Tapi bolehlah untuk mood menulis hari itu biar tidak suram-suram amat.

“Sore Kak, hari ini tidak meeting?”

Anjani menggeleng. Si barista sudah hafal.

“Pesan yang biasa?”

Belum sempat Anjani menjawab, Edward sudah menyahut. “Kopi hitam tidak pakai susu dan tidak pakai gula.”

Si barista tersenyum lalu mulai menekan tombol di komputer kasir dan menginput pesanan. Anjani berjalan menuju counter pick-up dan mengambil gelas kopinya. Aroma kopi Bali seakan memanggilnya untuk mencoba sesuatu yang baru seperti parasailing atau...

“Aku pernah baca penelitian katanya penyuka black coffee biasanya psikopat dan susah sosialisasi.”

“Hah?”

Anjani mendongak dan menemukan sahabatnya Mel tengah berdiri dengan segelas kopi blended berwarna cokelat muda yang tertimbun tumpukan whipped cream dan sirup karamel yang membentuk pola kilt Skotlandia.

“Kok sendirian, Andre mana?”

“Hari ini ngga meeting. Banyak tulisan.”

Edward menyapa, “halo Tante Mel” dan langsung tenggelam lagi dengan Youtubenya. Melanie, langsung duduk di hadapan Anjani dan mulai mengaduk kopinya.

“Kamu di sini ngapain?”

“Kopdar.”

“Masih jaman?”

“Yoi. Ketemu di Couchsurfing. Habis bosan, jadi aku coba fitur barunya saja, yang namanya Hangout. Eh, ada dong yang balas dan mau diajak ketemuan.”

“Berapa orang?”

“Satu.”

“Jangan bilang cowok.”

“Iyalah cowok. Mau aku kenalin? Anggap saja blind date.”

“Emang kamu udah kenal?”

“Belom sih, baru ya tadi di chatting itu saja.”

Yak, Parasailing atau blind date. Kopi Bali hari itu membawa satu rasa yang baru, yang segar sama seperti angin yang bertiup di Pulau Dewata. Bisa membuat yang meminumnya batal kerja. Uap panas yang mulai hilang menyadarkan Anjani bahwa dia harus segera mengusir Mel dan teman kencan butanya ke meja lain atau pekerjaannya tidak selesai. Itupun tidak membantunya berkonsentrasi karena mereka terlihat begitu seru, begitu menikmati obrolan yang terjadi bersama kopi blended yang manis dan tertutup warna putih whipped cream. Yaelah, si cowok kencan buta juga pesan minuman yang sama.

Gara-gara penelitian yang dibaca Mel, Anjani jadi kepikiran. Yah, memang dia bukan orang yang pintar cari teman apalagi pacar. Mel sering meledeknya bahwa jadi perempuan itu harus manis, bukan garang dengan segelas kopi hitam di tangan. Apalagi kopi macam Brazil dan Sumatra yang berat rasanya. “Cowok pasti berpikir kamu alpha female yang sulit didekati. Bayangkan ada cowok yang minum kopi instant, lalu ketemu kamu yang idealis dengan kopi tubruk. Dia pasti minder.” Begitulah ocehan Mel, yang awalnya terabaikan lalu lama kelamaan melekat juga di otaknya.

Salah satu laki-laki yang berani mendekatinya adalah Yudhis, teman kuliah yang berlanjut jadi sahabat. Lalu bersambung lagi jadi pacar. Lalu Yudhis hilang, melanjutkan studi di luar negeri. Dan Anjani baru menyadari bahwa dirinya hamil. Di tengah dilemanya, Anjani memutuskan untuk tidak memberitahu Yudhis sampai tiba-tiba yang bersangkutan pulang ke Indonesia membawa ijasah dan tunangan yang terlihat sempurna. Yudhis tahu, karena semua orang di lingkungan pertemanan mereka membicarakan Edward. Tapi Anjani tidak pernah bilang langsung dan tidak pernah menghubungi Yudhis juga.

Edward pun tidak sering bertanya. Hanya sekali dua kali keheranan kenapa keluarganya tidak lengkap. Namun jawaban Anjani bahwa si Papa sedang belajar ke luar negeri sudah cukup baginya, lalu menyuruh Anjani untuk cari Papa baru. Tapi banyak laki-laki yang ternyata takut dengan black coffee.

Akhir pekan berikutnya, Anjani kembali bersama Edward, nongkrong di coffee shop kesayangan. Kopi hari itu Gayo. Pahit, meskipun tidak asam. Aromanya juga kuat. Tidak sulit bagi Anjani untuk segera jatuh cinta pada Kopi Gayo, karena memang dirinya bukan pencinta kopi asam. Gelas kopi di hadapannya mengepulkan asap. Anjani menunggu.

Seorang laki-laki memasuki coffee shop itu dan menatap papan di belakang barista. Aceh Gayo. Begitu bunyi torehan kapur berwarna biru muda di atas papan tulis hitam.

“Satu gelas kopi Gayo.”

Barista mengangguk. Dua menit kemudian, segelas kopi hitam itu sudah berada di tangan si laki-laki. Penampilannya sederhana. Rambut pendek, jeans, t-shirt dan kacamata. Laki-laki itu melangkah dan akhirnya sampai di meja tempat Anjani duduk.

“Hi. Long time no see. Boleh duduk?”

Anjani mengangguk.

Si laki-laki meletakkan kopinya di sebelah kopi Anjani. Dua gelas kopi hitam pekat berdiri berdampingan.

“Apa kabar?”

“Baik. Kamu?”

“Masih kerja kantoran.” Si laki-laki tersenyum.

Anjani menoleh ke sampingnya.

“Hey, Ed, salaman dulu.”

Bocah yang dipanggil melepas earphonenya, lalu mengulurkan tangan kanannya. Tangan kirinya masih memegang tablet.

“Hallo Om. Aku Edward. Mamaku suka minum black coffee, tanpa krim tanpa gula.”

“Hallo Edward. Nama Om, Yudhis. Om juga suka kopi hitam kok.”

“Eh iya, Om juga pesan sama dengan minuman Mama. Mungkin Om berjodoh dengan Mama. Tapi Mamaku galak.”

Anjani mulai melirik ke si bocah yang sudah bicara terlalu banyak. Menarik nafas dan membulatkan tekadnya.

“Ed, ini orang yang membuat Mama jadi minum kopi hitam. Ini Papamu.”

Si bocah melongo. Tidak percaya. Si Om tersenyum, mengulurkan tangan mencoba merangkul anaknya. Anjani hanya menyaksikan adegan canggung itu sambil menyeruput kopi Aceh Gayonya. Pahit, tapi tidak asam.

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun