“Ya sudah kalau tidak mau dibahas. Aku kan cuma bilang.”
“Iya, kamu bilang di setiap meeting kita.”
“Aku cuma kasihan sama ayahnya, kalau kamu terus-terusan diam saja. Pasti dia sebenarnya mau bertemu, cuma tidak berani ngomong sama kamu. Soalnya kamu galak sih.”
Anjani bertahan tidak mengguyur sisa kopi yang sudah semakin asam itu ke muka Andre yang cengar-cengir. Sialan memang laki-laki satu ini, untung banyak kasih proyek.
***
Anjani memasuki coffee shop kesayangannya itu bersama Edward seminggu kemudian. Hari ini tanpa Andre karena dia berencana nongkrong sesorean untuk menyelesaikan pekerjaan kemarin. Berdiri di depan counter, Anjani membaca papan Coffee of The Day yang selalu ditulis dengan kapur itu. Berubah setiap hari. Pagi itu kopinya Bali, bukan favorit Anjani karena rasa kopi ini tidak umum dan kurang berat untuk pencinta kopi yang akut. Konon Kopi Bali Kintamani ditanam bersama dengan pohon jeruk jadi aroma dan rasanya sedikit berbeda. Terlalu ceria. Tapi bolehlah untuk mood menulis hari itu biar tidak suram-suram amat.
“Sore Kak, hari ini tidak meeting?”
Anjani menggeleng. Si barista sudah hafal.
“Pesan yang biasa?”
Belum sempat Anjani menjawab, Edward sudah menyahut. “Kopi hitam tidak pakai susu dan tidak pakai gula.”
Si barista tersenyum lalu mulai menekan tombol di komputer kasir dan menginput pesanan. Anjani berjalan menuju counter pick-up dan mengambil gelas kopinya. Aroma kopi Bali seakan memanggilnya untuk mencoba sesuatu yang baru seperti parasailing atau...