“Mamaku suka kopi hitam loh, Om. Yang tidak pakai krim dan tidak pakai gula.”
“Ssssst.” Anjani mengusir bocah cengengesan yang sedari tadi duduk manis di meja sebelahnya. “Mama lagi meeting, kamu balik nonton Youtube sana.”
“Jadi Mama kok galak amat, pantas tidak laku.” Si bocah melengos dan memasang kembali earphonenya.
Anjani kembali menghadap ke laki-laki yang ada di depannya, yang sudah tertawa ngakak mendengar percakapan barusan. “Sorry ya, Ndre. Emang bawel nih anaknya. Tadi aku mau tinggal, dia ngotot mau ikut buat cari wifi.”
“It’s okay. Anak kayak gitu kan artinya pintar.”
Anjani mengangkat bahunya, mengambil kopi yang masih mengeluarkan asap dan menyeruput sedikit. Enak. Hari itu coffee of the day yang ditulis di papan adalah Toraja. Kopinya harum, agak asam dan tidak terlalu pekat. Cocok untuk menemani meeting brainstorming proyek properti, yang merupakan alasan utamanya duduk berhadap-hadapan dengan Andre di coffee shop langganan mereka.
Andre adalah pemilik sebuah agency desain ternama di ibukota. Proyeknya banyak, dan banyak diantaranya yang jatuh ke tangan Anjani, seorang penulis lepas yang membesarkan putranya, Edward, seorang diri. Meeting dengan Andre sudah jadi rutinitas karena dari perusahaan Andrelah sebagian besar pemasukkannya datang. Untuk biaya hidup, biaya sekolah dan biaya ngopi. Andre tidak pernah komplain kalau si bocah dibawa meeting karena katanya dia suka anak-anak dan keponakannya banyak. Tapi Andre tidak minum kopi dan tidak mengerti kenapa Anjani suka sekali dengan kopi hitam.
“Ed, kenapa Mamamu suka kopi hitam?”
“Kata Mama, kalau pakai gula nanti diabetes. Terus krimer dan susu bikin gendut. Nanti Mama tidak dapat pacar kalau gendut.”
“Emang Mama kamu gendut?”
“Mama pernah bilang kalau tangannya sudah sebesar paha ayam.”