Andre tertawa lagi. Sementara Edward dengan santainya sudah kembali memasang earphone warna putih dan tenggelam ke dalam video Youtube yang ada di tabletnya.
“Ih, udah dibilangin biar ngga banyak omong.”
“Anak kecil kan jujur, An.”
“Ngga bisa jaga rahasia.”
“Justru kamu yang kebanyakan rahasia. Sampai hitam pekat seperti kopi kesukaanmu itu.”
“Apa hubungannya?”
“Sampai kapan kamu mau rahasiakan Ed dari papanya?”
“Halah, yang sudah berlalu tidak perlu dibahas lagi.”
“Berlalu bagaimana, orang anaknya juga masih ada di sini. Memangnya Ed tidak pernah tanya?”
Anjani menaikkan ujung kiri bibirnya. Dia sebal dengan pertanyaan begini. Andre selalu logis dan mendorongnya untuk mengenalkan Ed yang tahun depan masuk SD itu pada sang ayah. Menurut Andre, sang ayah berhak mengetahui keberadaan si anak, dan sebagai laki-laki pasti akan berbesar hati berusaha mengenal anaknya. Yah, itu kan kalau semua laki-laki satu pikiran dengan Andre, batinnya.
Anjani menyeruput kopinya lagi. Masih hangat tapi sudah terasa tanda-tanda oksidasi. Agak lebih asam dari tegukan pertama. Jadi harus cepat-cepat dihabiskan kalau tidak mau kembung karena asam lambung. Apalagi Kopi Toraja ini sudah lumayan asam awalnya. Se-asam ucapan dan sindiran Andre. Sepertinya si barista salah menentukan jenis coffee of the day. Atau mungkin next time meetingnya lihat-lihat dulu, jangan bertemu kopi Toraja.