"Romo Loogman orang hebat. Sejak magnet itu ditanam, penyakit pusing Papa tidak pernah datang lagi."
"Tapi kalau Papa cuma pasiennya, kok Romo itu mau-maunya datang ke sini untuk membesuk?" Â Â
"Kami berdua jadi berteman karena ada proyek yang kita kerjakan bersama. Romo Loogman memiliki sebuah buku kuno dalam bahasa latin. Karena isinya bagus, Romo ingin menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Dan dia meminta Papa untuk membantu dia."
"Papa bisa bahasa Latin?" Saya takjub bukan main. Saya yang sangat merasa dekat dengannya ternyata sama sekali tidak tau apa-apa tentang Ayah saya sendiri.
"Yah... Papa mengerti sedikit-sedikit. Tapi buat Romo itu sudah cukup membantu."
Entah kenapa saya jadi sedikit kesal sama Papa. Dan kekesalan itu membuahkan pertanyaan yang pasti tidak enak terdengar di telinga, "You know a lot of people, you know Mr. Liem. You cultivate red fruit in Papua, you can speak Latin, why I never know all of that?"
Dengan santainya Papa menjawab, "You never asked."
Kami terdiam, larut dengan pikiran masing-masing. Pikiran saya campur aduk tidak keruan. Semakin banyak mengetahui tentang Papa, saya merasa semakin tidak mengenalnya. Tapi di lain pihak saya semakin kagum. Kekaguman yang membuat saya semakin mencintai tapi sekaligus membuat merasa asing dengannya.
"Okay, back to Pak Liem? He is a tycoon, how do you know him?"
"Hmm, it's a long story."
"We have a long time, Papa!" kata saya terus mendesak.