"Iya, aku diampiri ya, takut kalau ketiduran setelah sahur," sahut Dullah tiba-tiba.
      "Ahh, kau Dul, kemarin aku panggil-panggil dari luar, kamu gak keluar, ehh ... rupanya ketiduran, ha ha ha ....," sahut Wawan sambil menepuk bahu sahabatnya.
      "Iya tu, Si Dul memang jago molor, ha ha ha ...," jawab Prio menegaskan ucapan Wawan.
      Dullah hanya cengar-cengir, mendengar celotehan para sahabatnya itu. Di antara mereka ber-tujuh, dialah yang paling besar badannya. Meskipun begitu, Dullah-lah yang paling pandai melucu, dia sering berdiri dan berbicara seolah-olah sedang ikut sebuah acara Stand Up Comedy. Teman-temannya pun suka melihat tingkahnya yang lucu dan acapkali mengundang gelak tawa.
      Perjalanan pulang  dari masjid, usai saat mereka sampai ke rumah mereka masing-masing. Malam itu Darmawan alias Wawan, merasa gelisah, ia tak tahu mengapa matanya sulit terpejam.
      "Kok belum tidur Le?" tanya ibunya yang tiba-tiba masuk ke kamar Wawan putranya saat melihat kamar Wawan masih menyala lampunya.
      "Gak apa-apa kok Bu, cuma ... gak tahu nih, kok dari tadi susah tidur, apa karena sepulang sekolah tadi  aku tidur terlalu lama ya Bu?" jawab Wawan sambil memandangi Ibunya.
      "Oh, iya kali Le, ya udah, cepat tidur, besok kesiangan sahurnya hlo. Katanya mau jalan-jalan lagi.  Ibu tinggal ya Le," kata Ibunya sambil melangkah keluar dan menutup pintu kamar putranya.
      Kegiatan jalan-jalan setelah makan sahur dan shalat subuh di mushala,  nyaris setiap hari mereka lakukan. Biasanya mereka keluar dan bertemu di ujung gang sekitar pukul setengah lima, dan seperti biasa jalan-jalan menyusuri  rel kereta api yang melintasi desa mereka. Kebetulan, sekolah masuk agak siang  pada waktu bulan puasa. Sekira pukul 6.30 mereka akan bergegas pulang untuk mandi dan segera berangkat ke sekolah.
      Setelah shalat subuh berjamaah di mushala, ke tujuh sahabat itu bertemu di ujung gang dengan berkalung sarung  mereka mulai berjalan-jalan menyusuri rel kereta api, tempat favorit mereka. Di kanan dan kiri rel, terlihat indahnya pemandangan sawah yang menghijau. Di kejauhan tampak jajaran gunung yang berdiri kokoh, begitu memesona siapapun yang memandangnya. Udara yang masih jauh dari polusi dan gemericiknya suara air di sekitar sawah serasa bagai alunan musik yang menenangkan jiwa. Kicauan suara burung liar di sepanjang jalan menambah asrinya suasana di desa itu. Ke tujuh sahabat itu benar-benar menikmati acara jalan-jalan di bulan ramadan saat itu. Bulan ramadhan adalah momen yang tepat untuk menikmati pagi beramai-ramai  di desa mereka.
      "Nda, aku capek nih, yuk berhenti dulu di sini sebentar," ucap Prio tiba-tiba.