"Bismillahirrahmanirrojim ..." gumam  Darmawan sambil memejamkan mata. Baru kali inilah ia memberanikan diri kembali ke desanya, setelah hampir 37 tahun ia meninggalkan desa tempat kelahirannya. Desa yang sejuk, asri, tempatnya bermain bersama teman-teman seusianya. Bermain di sawah, mencari keong, mandi di sungai atau sekedar membantu Pakde Parmo mengusir burung-burung yang memakan buliran padi yang sudah menguning di sawahnya.
      "Hoee ... hoeeee... hoeeee ... husssshh ... husshhhh ...," teriak Darwawan dan teman-temannya sambil menarik tali,  membunyikan deretan kaleng-kaleng bekas yang diikatkan pada sebuah tali panjang,  untuk mengusir burung.
      "Klonthangg ... klonthaaang ... klontaannng ....  ha ha ha .....," suara keras kaleng diikuti gelak tawa Darwawan dan teman-temannya yang masih anak-anak kala itu riang. Prio, Sholeh, Dullah, Asnawi, Hamdani, dan Reno, mereka adalah sahabat masa kecil Darmawan
      "Astaghfirullahal adziiim !!!" Darmawan berteriak sambil menutupkan kedua belah telapak tangannya ke wajahnya.
      Tetiba, ia kembali peristiwa itu!  Darmawan tak kuasa mengendalikan ingatannya saat sebuah rel kereta api tepat berada di depan mobilnya.
      Diin ... diiinn .. diin ... terdengar riuh suara klakson motor dan mobil dari arah belakang. Beberapa kendaraan tertahan tepat di belakang mobil  Darmawan, gegara ia berhenti mendadak di depan perlintasan rel kereta api. Saat itu bukanlah jadwal kereta api melintas di area itu. Jadi palang pintu perlintasan dibiarkan terbuka.
      "Pak, ada apa? Apa ada yang perlu dibantu?" seorang penjaga perlintasan menghampiri mobil  Darmawan.
      "Mas, Mas ... yuk jalan lagi, itu kendaraan di belakang kita sudah tak sabar untuk melewati rel ini," ucap Septia lembut. Ia tak mau suaminya makin gugup dengan situasi saat itu.
      "Eh, iya maa .. maaf Pak, tidak ... tidak ada masalah dengan mobil saya kok," jawab  Darmawan kepada penjaga palang pintu terbata.Â
       Ia berusaha menenangkan dirinya. Dan kembali melanjutkan perjalanan melewati rel kereta api yang melintasi desa itu.
      "Mah, aku ingat, di depan sekira 200 meter lagi ada sebuah mushala kecil, kita berhenti dan shalat di situ saja ya," ucap  Darmawan kepada Septia, istrinya.