Â
     Teett ... tett ... teettt ... Bel tanda sekolah telah usai sudah berbunyi nyaring di kelas IV B SD Pakis. Anak-anak segera berkemas dan siap pulang. Demikian pula Mamad, Roni dan Fauzi.
     "Ron, nanti tunggu aku di parkiran sepeda ya, tadi Bu Nia sudah berpesan kalau disuruh  mampir ke ruang guru sebentar," pinta Mamad pada Roni, teman sebangkunya.
    "Iya iya, nanti kutunggu," jawab Roni pendek.
Hari itu, seperti biasa Mamad, Roni dan Fauzi pulang dengan mengendarai sepeda masing-masing. Kebetulan rumah mereka berdekatan, sehingga mereka pulang dan pergi ke sekolah selalu bersama-sama. Jalan menuju ke rumah masih cukup jauh. Aspal yang sudah mulai rusak dan berlubang membuat mereka harus berhati-hati. Di sisi kanan  dan kiri jalan terbentang luas tanaman padi yang mulai menguning. Matahari tepat berada di atas kepala. Panas dan terik menyengat kulit mereka.
     "Mad, berhenti dulu di bawah pohon itu yuk, aku capek," kata Roni mengajak dua temannya.
     "Ahh, kamu Ron, baru segini udah capek. Perjalanan ke rumah masih jauh hlo, nih lihat aku dooong, aku kuat puasa biarpun siang ini panasnya menyengat sekali," tiba-tiba Mamad menyahut dengan menepuk dada sambil mengepalkan tangannya.
    Akhirnya mereka berhenti juga di bawah sebuah pohon yang cukup rindang. Daunnya yang lebat membuat udara dibawahnya cukup sejuk, dengan hembusan angin sepoi-sepoi. Hamparan sawah yang menghijau membuat pemandangan makin indah dan mempesona siapapun yang melihatnya. Mereka memarkirkan sepedanya, lalu duduk  di antara akar-akar pohon yang cukup besar.
    "Eh, Mad, tadi kamu ngapain dipanggil ke ruang guru sama Bu Nia?" tanya Roni.
    "Oh, tadi, mmm .... eemm ... gak ada apa-apa kok," jawab Mamad pelan. "Eh Ji, tadarusmu sudah sampai surat apa?" tetiba Mamad beralih ke Fauzi, ia tidak mau menjawab pertanyaan Roni dengan berpura-pura bertanya hal lain ke Fauzi.
    "Aku  sampai surat At Taubah Mad," kata Fauzi.
    "Haaah, baru sampai At Taubah? Masak siih, kamu kalah sama aku. Nih lihat, aku sudah sampai surat Maryam dong ... akuuu," jawab Mamad semakin menyombongkan dirinya.
     "Kamu Ron?" lanjut Mamad menoleh ke Roni.
    "Alhamdulillah, aku sudah hampir khatam," jawab Roni pelan, wajahnya datar.
    "Ahhh, masakk siih ... aku gak percaya. Apa mungkin kamu sudah hampIr khatam?" sahut Mamad yang merasa tak mau kalah.       Â
    "Tiap malam aja, setelah shalat tarawih aku selalu tadarus lagi hlo sampai hampir jam sebelas malam dan aku baru di surat Maryam, masak kamu sudah hampir khatam? Dan aku  tak lupa bangun untuk shalat tahajud, " lanjut Mamad dengan suara lantang.
     Heeee ... hebat kan aku ...?" Mamad semakin membanggakan diri sendiri. Ia merasa seolah-olah dialah yang paling hebat ibadahnya dibanding kedua temannya.
    "Iya, iya, kamu memang yang paling hebat Mad," jawab Fauzi sambil memalingkan muka ke arah persawahan. Sebenarnya Fauzi dan Roni merasa kesal mendengar kesombongan Mamad. Tapi mereka tak mau memperdebatkannya.
    Tetiba Mamad berdiri di depan kedua orang temannya dan berkata, "Kamu tau gak Ron, hampir tiap hari ibuku memberikan takjil ke masjid, supaya orang-orang tahu bahwa Ibuku dapat pahala dari Allah," ucap Mamad sambil mengangkat dagu dan merentangkan kedua tangannya ke arah langit.
    "Istighfar Mad, istighfar ... gak baik menyombongkan amal seperti itu," kata Fauzi mengingatkan.
    "Hey, aku gak bermaksud sombong Ji... aku hanya bercerita kepadamu, kan memang benar semua yang kukatakan?" sahut Mamad.
      Lalu,  ketiganya terdiam beberapa saat. Tenggelam dalam pikiran masing-masing.Â
     Angin masih berhembus pelan, sinar matahari yang menyengat, sedikit terkikis oleh hembusan angin.Â
      "Mad, kamu hari Jumat kemarin datang ke shalat Jumat di masjid gak?" tanya Roni tiba-tiba.
      "Ya sudah pastilaaah, aku selalu datang untuk sholat Jumat paling awal. Aku duduk di depan hlo," kata Mamad menjawab pertanyaan Roni.
      "Apakah kamu mendengar dan ingat apa isi khotbah Jumat  Pak Kyai Rustam kemarin?" tanya Roni sambil memandang wajah Mamad yang masih berapi-api membanggakan dirinya.
      "Eh, Pak Kyai Rustam ... hhmm .. eehh.. a.. aku kok lupa ya," jawab Mamad dengan muka merah padam.Â
      "Ah, sepertinya bukan Kyai Rustam Imam shalat Jumat kemarin," hardik Mamad yang masih berusaha mencari alasan.     Â
Mendengar perkataan Mamad, lalu dengan sabar dan perlahan Roni menjelaskan,
     "Jika kamu terus menerus berlaku sombong seperti itu, itu namanya ujub," kata Roni bijak.Â
     "Ujub artinya perasaan bangga terhadap diri sendiri. Orang yang memiliki penyakit hati ini akan beranggapan bahwa amal dan kebaikannya disebabkan karena dirinya bukan dari Allah SWT," lanjut Roni. Fauzi dan Mamad terdiam mendengar perkataan Roni.
"Barangsiapa suka menyiarkan amalnya, maka Allah akan menyiarkan aibnya, dan barangsiapa yang suka memamerkan amalnya, maka Allah akan membeberkan niatnya"." HR. Bukhari.
Demikian pula berbangga diri dalam urusan ibadah; dapat menghilangkan dan menghapuskan keberkahan amal.Â
Dalam surat Lukman ayat 18 diterangkan bahwa manusia dilarang bersifat angkuh dan sombong, serta memandang rendah orang lain. Bahkan, Allah SWT tidak menyukai hamba-Nya yang membanggakan diri sendiri.
Artinya: "Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri." (QS. Lukman: 18)
      "Gimana Mad? Apakah kamu masih ingin menyombongkan diri?" tanya Roni tenang.
Mamad terdiam, tampaknya hatinya kini terbuka, ia merasa malu atas kesombongannya.
      Ia teringat, sewaktu pulang sekolah tadi, sebenarnya ia telah diingatkan oleh Bu Nia. Lusa, sekolah akan mengadakan kegiatan berbagi takjil di sekitar sekolah mereka. Dan anak-anak diminta menyisihkan sedikit uang sakunya untuk kegiatan tersebut, dengan tujuan melatih rasa empati anak-anak  pada bulan ramadan ini. Dan hanya tinggal Mamad yang belum.  Dalam hatinya, Mamad mengakui, ia merasa enggan dan sayang untuk menyisihkan uang sakunya.
      "Nanti aku gak bisa jajan dong. Kalau sampai rumah kan aku biasa beli jajan di warung Mbah Karto," ucap Mamad dalam hati. Sebenarnya, ketika sekolah usai dan saat  sampai di rumah, Mamad sering jajan di warung Mbah Karto secara sembunyi-sembunyi.
      "Mamad, Mamad," kata Fauzi dan Roni hampir bersamaan. Lalu keduanya berdiri, mengambil sepeda masing-masing dan melanjutkan perjalanan pulang ke rumah. Sementara Mamad masih diam tepekur, ia tak menyadari Roni dan Fauzi sudah pergi mengayuh sepedanya.Â
"Ehhhh, tungguuuu ... tungguuu akuuu," teriak Mamad sambil buru-buru meyambar sepedanya dan secepat kilat menyusul Roni dan Fauzi.
~ Yfs ~
Ambarawa, 11 April 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H