Siang ini matahari bersinar dengan terik membakar tubuhku. Peluh berceceran hingga membuat bajuku yang memiliki banyak pentilasi ini menjadi basah.
Kuletakkan goni botot yang sedari tadi ku pikul lalu kususun beberapa kardus untuk kujadikan alas duduk, kemudian bersandar di bawah pohon rindang yang ada di sebelah tumpukan sampah yang menggunung.
Tempat ini menjadi sumber mata pencarianku, dan teman-teman pemulung lainnya. Di tempat ini sampah-sampah dari kota berbagai kecamatan dikumpulkan disini.
Setiap hari, saat truk pengangkut sampah datang, hatiku bersorak karena aku selalu mendapat banyak botot dan barang-barang yang masih bisa dipakai.
Untuk masalah bau? Jangan ditanya. Tentunya sangat bau sekali. Karena berbagai macam sampah dicampur tumpukkan disini. Mulai dari sampah makanan, sampah ikan, bulu-bulu ayam, bangkai hewan, kertas, kain, beling, kayu, semua ada disini.
Tak jarang kami harus memilah-milah sampah busuk itu dengan tangan telanjang demi mencari barang yang masih bisa dijual atau dipakai. Aroma tubuh sebelas dua belas dengan sampah yang ada disekitar kami.
Namun karena sudah terbiasa, bau-bauan ini tak lagi mengganggu kami para pemulung.
"Desi.. kamu sebaiknya pulang saja nak. Periksa ke bidan. Lihat tuh kakimu sudah bengkak. Kayaknya kamu bakalan lahiran Des." Usul Bu Ratna teman mulungku saat melihatku mengelus-elus perutku yang membuncit.
Aku tidak tahu pasti berapa usia kandunganku saat ini. Karena aku tak punya uang sepeserpun untuk melakukan pemeriksaan ke bidan.
Tapi, apa yang dikatakan Bu Ratna sepertinya ngga benar. Perasaan aku belum akan melahirkan. Karena perutku belum kontraksi.
"Ngga Bu, kayaknya masih lama Desi lahirannya bu. Belum sakit kok. Desi mau istirahat dulu bu sebentar." Jawabku pada Bu Ratna yang masih sibuk dengan kegiatan mulungnya.