Mohon tunggu...
Yosi Prastiwi
Yosi Prastiwi Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu rumah tangga

Hobi nulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pernikahan Ketiga

14 Desember 2020   14:59 Diperbarui: 18 Desember 2020   18:49 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Oke, mungkin sekarang kamu menyukaiku karena aku cantik," perempuan itu menghela nafas. Laki-laki di hadapannya mengangkat alisnya. 

"...aku sehat, aku punya jadwal olahraga dan yoga. Badanku bagus..." 

Laki-laki itu ingin menyela tapi perempuan itu kembali berkata.

"Aku punya pekerjaan bagus. Gaji cukup." Perempuan itu berhenti bicara. Laki-laki di depan hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tahu, ini bukan waktu yang tepat baginya bicara. 

Suasana resto malam itu cukup ramai. Beberapa pasangan dan keluarga duduk menghadap meja mereka. Sebagian sibuk menyantap hidangan. Yang lain saling berbicara. Ada juga yang asik dengan ponselnya. Seorang balita menangis di kursinya. Kentang gorengnya jatuh. 

"Tapi, semua itu hanya sementara." Perempuan itu kembali bicara. 

Laki-laki itu kembali mengangkat alisnya. Kali ini juga kedua tangannya, hendak protes. 

"Tunggu, biar kuselesaikan." Perempuan itu buru-buru meletakkan gelas minumnya. Kopi dengan aroma pandan menyisakan rasa manis di langit-langit mulutnya. 

"Mungkin pernikahan kita memang sempurna. Teman-teman kita saling mengenal. Keluarga kita bersahabat. Mereka mendukung."  

Laki-laki itu mengangguk lagi. Mengiyakan. 

"Bagian paling serunya, setelah ini kita akan memiliki malam yang panjang." 

Laki-laki di depan mulai tersenyum. 

"Oh ya, tentu saja aku akan mengenakan piyama. Atau gaun tidur. Sesuatu yang indah." 

Laki-laki di depan merasa mukanya merah. Ia buru-buru menepis pikirannya. 

"Tapi itu hanya berlangsung sesaat. Tahun selanjutnya mungkin aku sudah tidur mengenakan kaus oblongmu. Mengenakan celana pendekmu." 

Perempuan itu seperti mengenang sesuatu. Laki-laki di depan hampir membuka mulutnya tertawa. 

"Serius. Percayalah itu akan terjadi."

Perempuan itu berkata tegas. Itu bukan sesuatu yang lucu. Mungkin awalnya iya, tapi lama-lama akan jadi kebiasaan yang membosankan. Tidak sedap dipandang.  

"Dan aku punya rutinitas sebelum tidur. Aku akan menggosok gigiku. Membersihkan mukaku dengan toner, juga mengoleskan krim malam. Aku harus menggunakannya karena usiaku sudah lebih dari tiga puluh tahun. Aku tak mau menua dan keriput. Kamu tak akan suka menciumku dengan wajah penuh krim malam." 

Laki-laki di depan mulai tak sabar. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling resto. 

"Kamu tahu, kita sama-sama bekerja. Jadi, sepanjang siang aku akan sibuk dengan pekerjaanku. Kamu juga. Kita tak bisa makan siang bersama atau semacamnya."

"Usai kerja, aku akan pulang. Kadang, kembali mengerjakan pekerjaanku di rumah. Kamu tahu, bos ku selalu punya cara mempekerjakanku." 

"Jika sudah lembur, aku akan mengoleskan minyak kayu putih ke seluruh tubuhku. Benar, seluruh tubuhku. Kamu akan bau minyak. Meski kamu sudah mandi, bau itu tak akan hilang. Sepanjang kita menikah, bau itu akan melekat. Percayalah, kamu tak akan menyukainya."

"Ris, " kali ini lelaki itu menyela. 

"Tidak, apa yang aku katakan ini benar. Aku sudah mengalaminya dua kali."

Lelaki itu menghidupkan musik di ponselnya. 

"Ayo kita berdansa." 

"Hei, di sini?" 

"Tentu saja." 

"Tidak mau." 

"Sekali saja." 

Laki-laki itu meraih tangan si perempuan. Mengajaknya berdiri dan berayun. Lagu lawas Unforgettable milik Nat King Cole mengalum pelan dari ponselnya. Beberapa pasang mata memandang mereka sekilas. Ada juga yang bertepuk tangan. 

Perempuan itu tersenyum canggung. Senyum pertama sejak akad nikah mereka tadi pagi. Pernikahan ketiga baginya. Karena itulah ia merasa harus memberitahukan segala hal buruk di depan. Ia sudah pernah gagal. 

"Aku suka lagu ini." Si perempuan berbisik. 

"Aku tahu." Balas si lelaki. Ia memandang mata jeli perempuan di hadapannya. 

Mungkin ini sebuah awal yang baik, pikir si perempuan. Ia berputar mengikuti ayunan tangan suaminya. 

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun