Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Sapta Pesona, dari Profit ke Berkelanjutan

24 Januari 2025   11:14 Diperbarui: 24 Januari 2025   11:14 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Momen foto bersama Sri Sultan Hamengkubuwono X (Gubernur Provinsi DI Yogyakarta) dan Menteri Pariwisata Widi Wardhana (Dok. Genpi Jogja)

Bicara soal pariwisata di Indonesia, sektor satu ini bisa dibilang sangat unik, karena mampu menampilkan kekayaan budaya dan pesona khas Nusantara dalam satu paket. Hebatnya, paket unik ini ada, dan tersebar di seluruh Indonesia. 

Dari Sabang sampai Merauke, selalu saja ada wilayah berdaya tarik wisata unik, lengkap dengan ciri khas khusus. Ada yang dikenal karena keindahan alamnya, ada yang menarik dari segi historis, dan ada yang lekat dengan eksotika budayanya.

Maka, tidak mengejutkan kalau Indonesia punya beberapa wilayah destinasi wisata, yang cukup familiar hingga mancanegara, seperti Bali, Lombok, atau Yogyakarta. Hebatnya, ini baru sebagian kecil, dari sekian banyak potensi pariwisata yang ada.

Dengan bentang wilayah sangat luas, mengintegrasikan begitu banyak potensi yang ada bukan satu perkara mudah. Meski begitu, ada satu hal, yang ternyata mampu mengintegrasikan semua keberagaman itu, sehingga menjadi satu aset dengan potensi manfaat berkelanjutan, yakni Sapta Pesona. 

Sapta Pesona sendiri bukan merujuk pada destinasi wisata tertentu, tapi merujuk pada unsur dalam konsep sadar wisata, yang digunakan sebagai medium edukasi untuk masyarakat. Sesuai namanya, Sapta Pesona terdiri dari tujuh aspek, yaitu: 

Aman, Tertib, Bersih, Sejuk, Indah, Ramah, Kenangan. 

Sebagai informasi, sapta adalah kosakata bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno (Kawi) yang berarti "tujuh" dalam bahasa Indonesia.

Harijono (2023) menjelaskan, istilah Sapta Pesona pertama kali muncul saat Soesilo Soedarman menjabat sebagai Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi (Menparpostel) antara tahun 1988-1993. Kala itu, Sapta Pesona, atau lengkapnya Sapta Pesona Pariwisata, dicanangkan sebagai dasar citra pariwisata nasional.

Sama seperti yang kita kenal sekarang, Sapta Pesona pada masa itu juga terdiri dari tujuh elemen. Bedanya, ketujuh elemen tersebut menggunakan inisial huruf K, sehingga dikenal sebagai 7K, yakni keamanan, ketertiban, kebersihan, kesejukan, keindahan, keramahtamahan, dan kenangan.

Meski secara esensi kurang lebih sama, dan  masih relevan hingga sekarang, ada pergeseran orientasi, yang bisa dibilang menjadi satu kemajuan, terkait Sapta Pesona ini. Dari yang awalnya sebatas digunakan untuk menarik manfaat ekonomi, dalam hal ini menarik minat kunjungan turis mancanegara, menjadi sesuatu yang bersifat menyeluruh. 

Seperti diketahui, seiring meningkatnya kesadaran kolektif soal orientasi berkelanjutan, menyusul adanya ancaman dampak perubahan iklim, banyak sektor, termasuk pariwisata, yang mulai serius mencanangkan sifat berkelanjutan. 

Dalam artian, manfaat yang berusaha dioptimalkan bukan hanya dari segi profit jangka pendek, tapi manfaat jangka panjang, termasuk kelestarian lingkungan dan pemberdayaan masyarakat setempat, khususnya di sekitar area tempat wisata.

Dalam konteks pariwisata di Indonesia, orientasi berkelanjutan, khususnya dalam hal pelestarian lingkungan, pemberdayaan masyarakat, dan pelestarian budaya, telah menjadi satu urgensi.

Dengan banyaknya potensi wisata alam di Indonesia, yang berpotensi terdampak perubahan iklim, ditambah tren pergeseran perilaku masyarakat akibat modernitas, mengoptimalkan potensi pariwisata tanpa merusak, menjadi satu hal yang perlu diedukasi. Dengan harapan, langkah ini bisa menghadirkan satu budaya positif di masa depan. 

Maka, ketika Kementerian Pariwisata (Kemenpar) bersama Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan pihak-pihak terkait, melakukan peluncuran program Gerakan Wisata Bersih (GWB) di Pantai Parangtritis, Yogyakarta, Rabu (23/1) lalu, menjadi satu langkah positif yang layak diapresiasi. 

Selain karena tetap konsisten berkomitmen pada Sapta Pesona, ada pendekatan partisipatif yang juga konsisten diupayakan, lewat kolaborasi lintas sektor. Dimana, pemerintah, masyarakat dan sektor swasta sama-sama berperan aktif meningkatkan daya saing sektor pariwisata. 

Jika upaya seperti ini bisa diterapkan secara berkelanjutan, dan berjalan dalam berbagai wilayah di Indonesia, rasanya jargon "Wonderful Indonesia" bisa menjadi satu realitas. Bukan hanya karena potensi manfaat jangka pendek yang bisa dihasilkan, tapi karena alam, manusia dan budaya Indonesia dapat bersinergi menjadi satu harmoni yang indah, ditengah pelbagai dinamika khas era modern. 

Referensi buku:

Harijono, Try (2023). Beyond Borders: Menjaga Sapta Pesona, Menembus Pergaulan Antarbangsa. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun