Masalahnya, ketika kelemahan mulai ditemukan, tidak ada lagi perbaikan atau penggunaan kontrastrategi yang biasanya segera dilakukan. Alhasil, Manchester City terjebak dalam krisis performa terparah dalam sedekade terakhir.
Tanpa ampun, situasi ini langsung menguak sisi usang sekaligus kelemahan fatal taktik modern ala Pep. Di balik kehebatannya yang bagai tanpa celah, ternyata ini adalah jenis taktik yang hanya dirancang untuk kondisi ideal.
Jadi, ketika ada kondisi krisis, terutama cedera panjang pada satu saja pemain kunci, tim akan langsung terpuruk dalam jangka panjang. Gawatnya, untuk ukuran seorang pelatih, Pep Guardiola sangat bergantung pada dukungan dana transfer besar dan manajemen klub yang solid.
Sebelum di Manchester City, pelatih kelahiran tahun 1971 ini menikmati tim pemenang Treble Winner warisan Jupp Heynckes, dan manajemen solid di Bayern Munich. Di Barcelona, ia juga mewarisi sebuah tim yang berisi sejumlah pemain hebat, akademi kelas satu, dan punya anggaran belanja besar.
Situasinya di kedua klub ini juga relatif bebas krisis parah. Sederhananya, ia hanya perlu fokus membangun tim yang kompak.
Sementara itu, di Manchester City, pelatih berkepala plontos ini perlu proses bongkar pasang tim dan "pengalaman gagal" di Liga Champions yang cukup lama. Butuh waktu 7 tahun sejak 2016, sebelum akhirnya bisa meraih trofi Si Kuping Besar yang melengkapi capaian Treble Winner pada musim 2022-2023.
Pada prosesnya, eks anak didik Johan Cruyff ini juga mampu membangun satu era dominasi di Liga Inggris, sampai membuat kompetisi terasa monoton. Meski terlihat keren, dominasi ini terlihat biasa saja, karena ada dukungan fulus yang bagai tanpa batas dari pemilik klub, dan tim yang (sekali lagi) relatif bebas dari krisis cedera pemain kunci.
Andai pelatih asal Spanyol itu punya pemilik klub sepelit FSG di Liverpool, atau manajemen klub yang kacau seperti di Manchester United, pasti situasinya akan jauh berbeda.
Maka, ketika Etihad Stadium dihinggapi krisis cukup parah, ini justru menguak kerentanan sistem Pep Guardiola, yang selama bertahun-tahun dianggap istimewa. Di balik modernitasnya, ada sisi manja sedemikian parah, yang sekaligus menjadi satu kelemahan fatal.
Sebagai pelatih, Pep bisa dibilang minim pengalaman soal situasi krisis separah ini. Dirinya tidak setangguh Jose Mourinho, Carlo Ancelotti, atau bahkan Juergen Klopp, tiga pelatih top yang sama-sama pernah dihajar krisis cedera pemain atau masalah rumit lain di tim masing-masing.
Jose Mourinho pernah digoyang masalah krisis cedera kiper di Chelsea dan manajemen klub problematik di Manchester United. Meski begitu, kedua tim ini tetap mampu dibawanya meraih gelar juara, masing-masing Piala FA dan Piala Liga (di Chelsea) plus Liga Europa dan Piala Liga (di Manchester United).