Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Pep Guardiola, dari Inovasi ke Titik Nadir

23 Desember 2024   16:51 Diperbarui: 25 Desember 2024   07:22 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pep Guardiola. (AFP/Patricia De Melo Moreira via Kompas.com)

Bicara soal Pep Guardiola, sebagian pecinta sepak bola akan menyebutnya sebagai pelatih yang membawa modernitas dalam permainan ini. Ada perhatian ekstra pada detail kecil permainan, sampai inovasi taktik.

Karena inovasi taktiknya jugalah, muncul posisi "false nine", yang pelan-pelan makin mengikis peran nomor punggung 9 murni. Dari inovasinya jugalah, peran pemain nomor punggung 6 dan 8 makin mengikis peran pemain nomor punggung 10.

Inovasi taktik dan gayanya yang cenderung perfeksionis, telah banyak membantunya meraih banyak prestasi di Barcelona, Bayern Munich, dan Manchester City. Tak heran, banyak yang menyebutnya sebagai salah satu pelatih terbaik, khususnya di era modern.

Tapi, sehebat-hebatnya sebuah inovasi dan modernitas, ada masanya itu akan mulai dianggap usang. Pada kasus Pep, kondisi "usang" ini mulai muncul, bersamaan dengan periode krisis Manchester City di musim 2024-2025.

Seperti diketahui, dalam 13 partai terakhir di semua kompetisi, klub milik Sheikh Mansour ini hanya mampu meraih satu kemenangan dan dua hasil imbang. Untuk standar tinggi seorang Pep Guardiola 10 kekalahan dalam 13 pertandingan adalah sebuah titik nadir.

Sekilas, cedera lutut parah Rodri banyak dilihat sebagai satu penyebab utama. Seperti diketahui, peraih Ballon D'Or 2024 itu harus absen sampai musim 2024-2025 selesai.

Dengan perannya sebagai pemain kunci dalam sistem permainan City, kehilangan seperti ini adalah satu kerugian besar. Ibarat sebuah mobil, ini adalah kerusakan pada komponen mesin.

(Skysports.com)
(Skysports.com)

Masalahnya, krisis tak langsung muncul saat Rodri cedera dalam laga sengit Liga Inggris melawan Arsenal, yang berakhir imbang 2-2 di bulan September 2024. Bahkan, ada fase dimana Erling Haaland dkk sempat mencatat 5 kemenangan beruntun di bulan Oktober.

Jadi, sebelum krisis hadir, Pep mampu mengatasi absensi Rodri untuk sementara. Dengan kemampuan taktisnya, sepintas tidak ada celah, seperti biasa.

Masalahnya, ketika kelemahan mulai ditemukan, tidak ada lagi perbaikan atau penggunaan kontrastrategi yang biasanya segera dilakukan. Alhasil, Manchester City terjebak dalam krisis performa terparah dalam sedekade terakhir.

Tanpa ampun, situasi ini langsung menguak sisi usang sekaligus kelemahan fatal taktik modern ala Pep. Di balik kehebatannya yang bagai tanpa celah, ternyata ini adalah jenis taktik yang hanya dirancang untuk kondisi ideal.

Jadi, ketika ada kondisi krisis, terutama cedera panjang pada satu saja pemain kunci, tim akan langsung terpuruk dalam jangka panjang. Gawatnya, untuk ukuran seorang pelatih, Pep Guardiola sangat bergantung pada dukungan dana transfer besar dan manajemen klub yang solid.

Sebelum di Manchester City, pelatih kelahiran tahun 1971 ini menikmati tim pemenang Treble Winner warisan Jupp Heynckes, dan manajemen solid di Bayern Munich. Di Barcelona, ia juga mewarisi sebuah tim yang berisi sejumlah pemain hebat, akademi kelas satu, dan punya anggaran belanja besar.

Situasinya di kedua klub ini juga relatif bebas krisis parah. Sederhananya, ia hanya perlu fokus membangun tim yang kompak.

Sementara itu, di Manchester City, pelatih berkepala plontos ini perlu proses bongkar pasang tim dan "pengalaman gagal" di Liga Champions yang cukup lama. Butuh waktu 7 tahun sejak 2016, sebelum akhirnya bisa meraih trofi Si Kuping Besar yang melengkapi capaian Treble Winner pada musim 2022-2023.

Pada prosesnya, eks anak didik Johan Cruyff ini juga mampu membangun satu era dominasi di Liga Inggris, sampai membuat kompetisi terasa monoton. Meski terlihat keren, dominasi ini terlihat biasa saja, karena ada dukungan fulus yang bagai tanpa batas dari pemilik klub, dan tim yang (sekali lagi) relatif bebas dari krisis cedera pemain kunci.

Andai pelatih asal Spanyol itu punya pemilik klub sepelit FSG di Liverpool, atau manajemen klub yang kacau seperti di Manchester United, pasti situasinya akan jauh berbeda.

Maka, ketika Etihad Stadium dihinggapi krisis cukup parah, ini justru menguak kerentanan sistem Pep Guardiola, yang selama bertahun-tahun dianggap istimewa. Di balik modernitasnya, ada sisi manja sedemikian parah, yang sekaligus menjadi satu kelemahan fatal.

Sebagai pelatih, Pep bisa dibilang minim pengalaman soal situasi krisis separah ini. Dirinya tidak setangguh Jose Mourinho, Carlo Ancelotti, atau bahkan Juergen Klopp, tiga pelatih top yang sama-sama pernah dihajar krisis cedera pemain atau masalah rumit lain di tim masing-masing.

Jose Mourinho pernah digoyang masalah krisis cedera kiper di Chelsea dan manajemen klub problematik di Manchester United. Meski begitu, kedua tim ini tetap mampu dibawanya meraih gelar juara, masing-masing Piala FA dan Piala Liga (di Chelsea) plus Liga Europa dan Piala Liga (di Manchester United).

Carlo Ancelotti, yang juga sukses semasa bermain, pernah menangani tim yang didominasi pemain senior di AC Milan, dan digoyang krisis cedera pemain di Real Madrid. Tapi, pelatih asal Italia itu berhasil membawa kedua tim meraih gelar Liga Champions.

Juergen Klopp yang meraih aneka gelar juara di Liverpool, juga sempat digoyang krisis cedera di lini belakang, dan pemilik klub yang pelit soal transfer pemain. Meski begitu, pelatih asal Jerman itu tetap mampu membawa The Kop meraih prestasi.

Boleh dibilang, krisis yang sedang terjadi di Manchester City menjadi pengalaman besar pertama Pep Guardiola sebagai pelatih, khususnya dalam situasi krisis. Menariknya, situasi sulit ini juga hadir, saat The Eastlands masih berjuang di pengadilan, terkait sejumlah pelanggaran aturan finansial Liga Inggris.

Jika mampu bangkit, terlepas apapun hasil akhir persidangan di meja hijau, ini akan menjadi satu bukti kehebatan Pep Guardiola sebagai seorang pelatih, karena ia mampu menghadapi situasi krisis dengan sistem "perfeksionis" andalannya.

Jika tidak, pelatih asal region Catalan ini mungkin hanya akan diingat karena prestasi, tapi bukan kehebatan sistem taktiknya, karena sistemnya yang sekilas terlihat sempurna itu, hanyalah sebuah sistem yang terlalu manja, karena hanya dirancang untuk kondisi serba ideal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun