Bicara soal Pep Guardiola, sebagian pecinta sepak bola akan menyebutnya sebagai pelatih yang membawa modernitas dalam permainan ini. Ada perhatian ekstra pada detail kecil permainan, sampai inovasi taktik.
Karena inovasi taktiknya jugalah, muncul posisi "false nine", yang pelan-pelan makin mengikis peran nomor punggung 9 murni. Dari inovasinya jugalah, peran pemain nomor punggung 6 dan 8 makin mengikis peran pemain nomor punggung 10.
Inovasi taktik dan gayanya yang cenderung perfeksionis, telah banyak membantunya meraih banyak prestasi di Barcelona, Bayern Munich, dan Manchester City. Tak heran, banyak yang menyebutnya sebagai salah satu pelatih terbaik, khususnya di era modern.
Tapi, sehebat-hebatnya sebuah inovasi dan modernitas, ada masanya itu akan mulai dianggap usang. Pada kasus Pep, kondisi "usang" ini mulai muncul, bersamaan dengan periode krisis Manchester City di musim 2024-2025.
Seperti diketahui, dalam 13 partai terakhir di semua kompetisi, klub milik Sheikh Mansour ini hanya mampu meraih satu kemenangan dan dua hasil imbang. Untuk standar tinggi seorang Pep Guardiola 10 kekalahan dalam 13 pertandingan adalah sebuah titik nadir.
Sekilas, cedera lutut parah Rodri banyak dilihat sebagai satu penyebab utama. Seperti diketahui, peraih Ballon D'Or 2024 itu harus absen sampai musim 2024-2025 selesai.
Dengan perannya sebagai pemain kunci dalam sistem permainan City, kehilangan seperti ini adalah satu kerugian besar. Ibarat sebuah mobil, ini adalah kerusakan pada komponen mesin.
Masalahnya, krisis tak langsung muncul saat Rodri cedera dalam laga sengit Liga Inggris melawan Arsenal, yang berakhir imbang 2-2 di bulan September 2024. Bahkan, ada fase dimana Erling Haaland dkk sempat mencatat 5 kemenangan beruntun di bulan Oktober.
Jadi, sebelum krisis hadir, Pep mampu mengatasi absensi Rodri untuk sementara. Dengan kemampuan taktisnya, sepintas tidak ada celah, seperti biasa.