Pilihan ini secara langsung mengorbankan kualitas permainan, karena jadwal superpadat sangat rawan menghasilkan cedera, dan menuntut pengaturan tenaga secermat mungkin.
Cedera memang risiko umum seorang atlet, termasuk di olahraga intens seperti sepak bola, tapi ketika jadwal pertandingan yang dimainkan terlalu banyak, frekuensi dan tingkat keparahan cedera bisa semakin tinggi.
Terbukti, pemain seperti Rodri (Manchester City) dan Marc Andre Ter Stegen (Barcelona) harus absen panjang akibat cedera lutut parah. Barca bahkan sampai harus melakukan transfer darurat, saat membuat Wojciech Szczesny (Polandia) membatalkan keputusan gantung sarung tangan.
Dengan kerawanan seperti itu, wajar jika tim-tim yang terbiasa dengan situasi "win ugly" makin banyak. Selama menang dan cuan, kualitas dan keindahan hanya fitur opsional.
Soal performa tim, bertambahnya jumlah pertandingan di babak awal Liga Champions justru akan membuat tim punya ruang untuk bermain seadanya. Tidak ada lagi tekanan tampil maksimal sejak awal, karena ada jatah gagal di sini.
Dengan situasi seperti itu, praktis hanya fase gugur Liga Champions yang benar-benar bisa dinikmati, karena disitulah tekanan untuk tampil sebaik mungkin berada pada tempatnya, seperti halnya "big match".
Memang, format baru Liga Champions dihadirkan demi menambah semarak kompetisi, tapi bukan berarti kualitas permainan dan waktu istirahat penonton harus dikorbankan.
Di sisi lain, format baru kompetisi besutan UEFA juga menampilkan, seberapa parah sifat egois sepak bola di era industri, karena demi mengejar keuntungan sebesar mungkin, ada terlalu banyak hal mendasar yang dikorbankan.
Andai tak ada perbaikan dalam waktu dekat, rasanya ini akan menciptakan satu titik jenuh, karena baik pemain maupun suporter hanya dianggap sebagai sumber pemasukan. Kapitalis sekali.
Titik jenuh ini makin rawan, karena di saat nonton siaran saja harus berbayar, dan harganya terus naik tiap tahun, kualitasnya malah makin berkurang.
Lalu, apa bedanya ini dengan penipuan? Mengerikan sekali.