Liga Champions format baru di musim 2024-2025 telah memainkan beberapa partai besar, seperti Liverpool vs AC Milan, Arsenal vs PSG, dan Manchester City vs Inter Milan, hanya dalam dua "matchday" fase liga.
Daftar ini dipastikan masih akan bertambah, karena setiap klub total bertanding 8 kali di fase ini. Pada "matchday" ketiga saja, ada partai Real Madrid vs Borussia Dortmund, dan Barcelona vs Bayern Munich.
Ini baru di fase liga alias fase awal. Belum termasuk babak play-off dan babak gugur, yang sudah pasti akan menghadirkan lebih banyak partai besar.
Secara kasat mata, banyaknya partai besar memang menarik dilihat. Inilah salah satu daya tarik utama Liga Champions, yang memang mempertemukan tim-tim papan atas Eropa.
Dengan kualitas materi pemain kelas satu, kompetisi kasta tertinggi antarklub Eropa ini benar-benar mewujudkan "perang bintang" yang menarik. Setidaknya secara kasat mata.
Masalahnya, dengan jadwal pertandingan sedemikian padat, dan babak awal yang lebih panjang, daya tarik ini terasa hambar. Apalagi, dalam konteks jam tayang waktu Indonesia.
Seperti diketahui, jam tayang pertandingan Liga Champions, khususnya di Asia Pasifik, termasuk Indonesia, adalah tengah malam dan dinihari, yang biasanya menjadi jam istirahat. Kalau frekuensinya tidak terlalu sering, begadang mungkin masih aman dilakukan.
Kalau ada waktu kosong, tidur beberapa jam sebelum kick off akan cukup membantu. Tapi, kadang masih ada kesibukan lain yang tak bisa ditinggalkan. Jadi, meski ideal, ini belum tentu bisa dilakukan dengan mudah.
Itu baru satu "matchday", apalagi kalau yang main tim kesayangan. Bagaimana kalau delapan matchday plus fase gugur? Bisa dibayangkan seberapa hebat rasa pusingnya.
Dari segi kualitas permainan, Liga Champions jelas sudah punya standar tinggi, karena levelnya sudah kelas dunia. Masalahnya, dengan jadwal pertandingan superpadat di level antarklub dan antarnegara, banyak tim cenderung memilih bermain pragmatis.