Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Format Baru Liga Champions, Meriah tetapi Hambar

3 Oktober 2024   23:43 Diperbarui: 4 Oktober 2024   14:41 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebanyak 36 tim telah memastikan partisipasi di Liga Champions 2024-2025 yang memakai format anyar. (Foto: AFP/FABRICE COFFRINI via kompas.com) 

Liga Champions format baru di musim 2024-2025 telah memainkan beberapa partai besar, seperti Liverpool vs AC Milan, Arsenal vs PSG, dan Manchester City vs Inter Milan, hanya dalam dua "matchday" fase liga.

Daftar ini dipastikan masih akan bertambah, karena setiap klub total bertanding 8 kali di fase ini. Pada "matchday" ketiga saja, ada partai Real Madrid vs Borussia Dortmund, dan Barcelona vs Bayern Munich.

Ini baru di fase liga alias fase awal. Belum termasuk babak play-off dan babak gugur, yang sudah pasti akan menghadirkan lebih banyak partai besar.

Secara kasat mata, banyaknya partai besar memang menarik dilihat. Inilah salah satu daya tarik utama Liga Champions, yang memang mempertemukan tim-tim papan atas Eropa.

Dengan kualitas materi pemain kelas satu, kompetisi kasta tertinggi antarklub Eropa ini benar-benar mewujudkan "perang bintang" yang menarik. Setidaknya secara kasat mata.

Masalahnya, dengan jadwal pertandingan sedemikian padat, dan babak awal yang lebih panjang, daya tarik ini terasa hambar. Apalagi, dalam konteks jam tayang waktu Indonesia.

Seperti diketahui, jam tayang pertandingan Liga Champions, khususnya di Asia Pasifik, termasuk Indonesia, adalah tengah malam dan dinihari, yang biasanya menjadi jam istirahat. Kalau frekuensinya tidak terlalu sering, begadang mungkin masih aman dilakukan.

Kalau ada waktu kosong, tidur beberapa jam sebelum kick off akan cukup membantu. Tapi, kadang masih ada kesibukan lain yang tak bisa ditinggalkan. Jadi, meski ideal, ini belum tentu bisa dilakukan dengan mudah.

Itu baru satu "matchday", apalagi kalau yang main tim kesayangan. Bagaimana kalau delapan matchday plus fase gugur? Bisa dibayangkan seberapa hebat rasa pusingnya.

Dari segi kualitas permainan, Liga Champions jelas sudah punya standar tinggi, karena levelnya sudah kelas dunia. Masalahnya, dengan jadwal pertandingan superpadat di level antarklub dan antarnegara, banyak tim cenderung memilih bermain pragmatis.

Pilihan ini secara langsung mengorbankan kualitas permainan, karena jadwal superpadat sangat rawan menghasilkan cedera, dan menuntut pengaturan tenaga secermat mungkin.

Cedera memang risiko umum seorang atlet, termasuk di olahraga intens seperti sepak bola, tapi ketika jadwal pertandingan yang dimainkan terlalu banyak, frekuensi dan tingkat keparahan cedera bisa semakin tinggi.

Terbukti, pemain seperti Rodri (Manchester City) dan Marc Andre Ter Stegen (Barcelona) harus absen panjang akibat cedera lutut parah. Barca bahkan sampai harus melakukan transfer darurat, saat membuat Wojciech Szczesny (Polandia) membatalkan keputusan gantung sarung tangan.

Dengan kerawanan seperti itu, wajar jika tim-tim yang terbiasa dengan situasi "win ugly" makin banyak. Selama menang dan cuan, kualitas dan keindahan hanya fitur opsional.

Soal performa tim, bertambahnya jumlah pertandingan di babak awal Liga Champions justru akan membuat tim punya ruang untuk bermain seadanya. Tidak ada lagi tekanan tampil maksimal sejak awal, karena ada jatah gagal di sini.

Dengan situasi seperti itu, praktis hanya fase gugur Liga Champions yang benar-benar bisa dinikmati, karena disitulah tekanan untuk tampil sebaik mungkin berada pada tempatnya, seperti halnya "big match".

Memang, format baru Liga Champions dihadirkan demi menambah semarak kompetisi, tapi bukan berarti kualitas permainan dan waktu istirahat penonton harus dikorbankan.

Di sisi lain, format baru kompetisi besutan UEFA juga menampilkan, seberapa parah sifat egois sepak bola di era industri, karena demi mengejar keuntungan sebesar mungkin, ada terlalu banyak hal mendasar yang dikorbankan.

Andai tak ada perbaikan dalam waktu dekat, rasanya ini akan menciptakan satu titik jenuh, karena baik pemain maupun suporter hanya dianggap sebagai sumber pemasukan. Kapitalis sekali.

Titik jenuh ini makin rawan, karena di saat nonton siaran saja harus berbayar, dan harganya terus naik tiap tahun, kualitasnya malah makin berkurang.

Lalu, apa bedanya ini dengan penipuan? Mengerikan sekali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun