Judul di atas adalah satu pertanyaan yang muncul di pikiran saya, setelah mencermati pola situasi yang muncul pada kinerja presiden di Indonesia, terutama sejak dimulainya era Pemilu langsung (dan rutin) tahun 2004.
Seperti diketahui, sejak tahun 2004, ada dua sosok presiden yang menjabat dalam dua periode, yakni Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) dan Joko Widodo (2014-2024).
Keduanya menjadi contoh aplikatif dari amandemen UUD 1945 di era reformasi, yang membatasi masa jabatan presiden maksimal hanya dua periode. Satu periode berlangsung selama 5 tahun.
Soal kinerja SBY dan Jokowi secara umum, tentu ada plus-minus dan pro-kontra, karena perspektif yang muncul hadir dari berbagai pihak. Dari yang sangat fanatik sampai paling bodo amat, semua ada.
Tapi, terdapat satu pola yang cukup mirip dari keduanya, dalam hal situasi di kedua periode jabatan. Pada periode pertama, kinerja mereka cukup bagus secara umum, karena memang lebih fokus bekerja, terutama pada urusan mendesak.
Pada periode pertama, SBY lumayan sibuk menangani masalah bencana alam di berbagai daerah, termasuk "Megathrust" dan Tsunami di Aceh. Di periode pertamanya, Jokowi cukup sibuk mencanangkan dan membangun proyek infrastruktur di Indonesia.
Berkat kinerja di periode pertama, baik SBY maupun Jokowi sama-sama punya modal kuat untuk kembali terpilih, dan itulah yang mereka dapat.
Masalahnya, di periode kedua, ada terlalu banyak penumpang yang terlanjur jadi beban. Apa boleh buat, bukannya lebih baik, periode kedua SBY dan Jokowi sama-sama "panen" kasus korupsi dan kebijakan bermasalah.
Jokowi bahkan dinilai melakukan pelanggaran etika, karena terkesan "membiarkan" putra sulungnya ikut dalam Pilpres 2024, yang dalam prosesnya "membiarkan" juga aturan Konstitusi diotak-atik sedemikian rupa.Â
Percobaan serupa juga terlihat, dari upaya mengakali aturan Pilkada, supaya putra bungsunya bisa ikut meski belum cukup umur.
Praktis, dalam situasi normal, dari 10 tahun masa tugas itu, hanya 6-7 tahun yang benar-benar efektif. 3-4 tahun sisanya habis untuk konsolidasi pemerintahan dan kampanye menuju periode kedua.Â
Pada kasus Jokowi, ini masih ditambah dengan aksi "cawe-cawe" (baik secara langsung maupun tidak langsung) di setahun terakhir masa tugasnya, plus dampak situasi sulit di masa pandemi.
Akibat situasi serba tidak normal itu, tingkat efektivitas Jokowi praktis hanya berlangsung selama 4-5 tahun. Jadi, situasi "luar biasa" seperti pandemi bisa berdampak signifikan pada efektivitas kinerja pemerintahan.
Dengan tingkat efektivitas dan tren kinerja seperti itu, aturan maksimal dua periode dengan masa jabatan 5 tahun per periode jelas perlu dikaji ulang. Tidak masalah kalau satu periode berlangsung selama 6-7 tahun, dan tidak ada periode kedua, selama itu lebih efektif.
Percuma maju 2-3 langkah di periode pertama, tapi mundur 4-5 langkah di periode kedua. Percuma juga kerja habis-habisan di periode pertama, kalau hanya untuk dirusak di periode berikutnya.
Soal masa jabatan maksimal dua periode, ini memang diterapkan di berbagai negara secara global. Masalahnya, sebagian politisi dan masyarakat di Indonesia belum cukup dewasa dalam berdemokrasi, karena "demokrasi" di Indonesia baru benar-benar dimulai pada tahun 1998.
Terbukti, Pilpres (terutama di periode kedua petahana) malah menciptakan polarisasi dan suasana tidak sehat. Terlalu banyak "gimmick" kurang penting yang justru lebih diperhatikan, ketimbang program dan gagasan.
Apa boleh buat, sebuah proses pendidikan politik malah menjadi panggung pembodohan publik secara masif, lengkap dengan tingkah berlagak amnesia saat sudah terpilih. Hasilnya, kerusakan dan kemunduran sistematis.
Karena demokrasi (seharusnya) adalah satu proses konstruktif yang berkelanjutan, evaluasi dan perbaikan secara berkala tetap perlu dilakukan. Meski terdengar ekstrem, ini perlu serius dilakukan, supaya demokrasi bisa tetap sehat.
Suka atau tidak, kita sudah melihat bersama, apa yang dihasilkan dari proses demokrasi sejak 2004 justru telah menghasilkan kemunduran demi kemunduran, karena aturan yang ada makin lama makin terlihat usang.
Seiring naiknya inflasi, angka kerugian akibat korupsi ikut meroket. Ada juga aksi nepotisme yang secara culas mengakali celah konstitusi. Sebuah dinamika yang pada titik tertentu lebih parah dari sebelum era reformasi.
Dengan terus bergulirnya dinamika perubahan zaman dan pergeseran perilaku, seharusnya peraturan yang ada tetap bisa menampilkan sisi adaptif, supaya tetap relevan. Jika tidak, apa yang sudah usang akan menjadi bobrok dan rongsok.
Jangan sampai perbaikan dan pembaruan hanya dilakukan, saat kerusakan sudah sangat parah. Itu hanya menunda kerusakan lebih parah di masa depan, karena perbaikan yang ada tak pernah diikuti dengan "upgrade" kualitas secara berkala, sesuai dengan perkembangan zaman yang begitu dinamis.
Bisa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H