Praktis, dalam situasi normal, dari 10 tahun masa tugas itu, hanya 6-7 tahun yang benar-benar efektif. 3-4 tahun sisanya habis untuk konsolidasi pemerintahan dan kampanye menuju periode kedua.Â
Pada kasus Jokowi, ini masih ditambah dengan aksi "cawe-cawe" (baik secara langsung maupun tidak langsung) di setahun terakhir masa tugasnya, plus dampak situasi sulit di masa pandemi.
Akibat situasi serba tidak normal itu, tingkat efektivitas Jokowi praktis hanya berlangsung selama 4-5 tahun. Jadi, situasi "luar biasa" seperti pandemi bisa berdampak signifikan pada efektivitas kinerja pemerintahan.
Dengan tingkat efektivitas dan tren kinerja seperti itu, aturan maksimal dua periode dengan masa jabatan 5 tahun per periode jelas perlu dikaji ulang. Tidak masalah kalau satu periode berlangsung selama 6-7 tahun, dan tidak ada periode kedua, selama itu lebih efektif.
Percuma maju 2-3 langkah di periode pertama, tapi mundur 4-5 langkah di periode kedua. Percuma juga kerja habis-habisan di periode pertama, kalau hanya untuk dirusak di periode berikutnya.
Soal masa jabatan maksimal dua periode, ini memang diterapkan di berbagai negara secara global. Masalahnya, sebagian politisi dan masyarakat di Indonesia belum cukup dewasa dalam berdemokrasi, karena "demokrasi" di Indonesia baru benar-benar dimulai pada tahun 1998.
Terbukti, Pilpres (terutama di periode kedua petahana) malah menciptakan polarisasi dan suasana tidak sehat. Terlalu banyak "gimmick" kurang penting yang justru lebih diperhatikan, ketimbang program dan gagasan.
Apa boleh buat, sebuah proses pendidikan politik malah menjadi panggung pembodohan publik secara masif, lengkap dengan tingkah berlagak amnesia saat sudah terpilih. Hasilnya, kerusakan dan kemunduran sistematis.
Karena demokrasi (seharusnya) adalah satu proses konstruktif yang berkelanjutan, evaluasi dan perbaikan secara berkala tetap perlu dilakukan. Meski terdengar ekstrem, ini perlu serius dilakukan, supaya demokrasi bisa tetap sehat.
Suka atau tidak, kita sudah melihat bersama, apa yang dihasilkan dari proses demokrasi sejak 2004 justru telah menghasilkan kemunduran demi kemunduran, karena aturan yang ada makin lama makin terlihat usang.
Seiring naiknya inflasi, angka kerugian akibat korupsi ikut meroket. Ada juga aksi nepotisme yang secara culas mengakali celah konstitusi. Sebuah dinamika yang pada titik tertentu lebih parah dari sebelum era reformasi.