Bicara soal tren pariwisata kekinian, ada saja hal unik yang muncul. Mulai dari spot fotogenik yang "instagramable", sampai kuliner dengan porsi atau tingkat kepedasan ugal-ugalan.
Semakin unik atau ekstrem konsepnya, semakin besar kesempatan untuk viral. Maklum, aspek yang banyak dimainkan di sini umumnya berfokus pada "viral", rasa ingin tahu atau "kebelet FOMO".
Pada awalnya, ini memang mampu menarik popularitas dalam waktu singkat. Tapi, karena hanya punya satu daya tarik, dan tidak menimbang keberlanjutan, banyak yang pada akhirnya malah menghidupi larik sajak Chairil Anwar:
"Sekali berarti, sudah itu mati"
Fenomena semacam ini sudah sering terjadi, dan menjadi satu kewajaran di era digital. Di satu sisi, "viral" dan "unik" memang jadi potensi nilai tambah, tapi menjadi sulit dioptimalkan, karena sasaran manfaatnya terbatas dan tidak berkelanjutan.
Maka, ketika Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) RI mulai melirik orientasi berkelanjutan, ada sedikit harapan, karena ada manfaat lebih luas yang bisa dioptimalkan.
Inilah yang saya jumpai dalam Netas On Java Camp di Desa Wisata Pulesari, Turi, Sleman Yogyakarta. Acara besutan Kemenparekraf dan Generasi Pesona Indonesia (Genpi) ini berlangsung pada tanggal 19 dan 20 Juli 2024.
Di mana, aspek yang disentuh tidak hanya soal sifat "ramah" lingkungan, seperti yang belakangan menjadi tren, tapi juga menyentuh ekonomi, sosial dan budaya. Boleh dibilang, orientasi berkelanjutan yang dijalankan Kemenparekraf adalah satu hal bersifat holistik.
Jadi, satu kawasan wisata dengan orientasi berkelanjutan merupakan satu area yang mampu menghasilkan nilai tambah secara ekonomi, dengan memberdayakan masyarakat setempat, termasuk dalam hal kearifan lokal.
Pada gilirannya, potensi lokal yang ada tidak hanya menjadi objek "warisan" untuk dilestarikan, tapi juga berkembang menjadi satu potensi dengan nilai jual.
Satu hal yang cukup menarik dari pemaparan Menparekraf, beliau menyebut, pariwisata berkelanjutan juga punya sifat inklusif. Ada kesempatan secara untuk semuanya yang terus diupayakan.
Dengan potensi sebesar ini, wajar jika Kemenparekraf banyak menghadirkan desa wisata, seperti di Desa Wisata Pulesari, yang secara geografis berada di kawasan lereng Gunung Merapi, dan merupakan salah satu daerah sentra produksi buah salak.
Jika ide ini bisa dieksekusi optimal, pariwisata berkelanjutan akan menjadi satu instrumen penting dalam pembangunan nasional. Semakin banyak Desa Wisata yang optimal, semakin besar pemerataan bisa diwujudkan. Fungsi utama pariwisata, yakni konservasi dan edukasi pun bisa berjalan seperti seharusnya.
Jangan sampai, kebijakan yang ada hanya jadi satu siklus program, yang akan dimulai lagi dari nol (bahkan minus) saat periode baru, karena bongkar pasang berkelanjutan tak akan menghasilkan satu keberlanjutan.
Semoga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya