Tak ada lagi nilai universal yang benar-benar inklusif, seperti yang selama ini digembar-gemborkan, karena untuk bisa menontonnya di televisi saja harus membayar, dengan harga yang makin lama makin mahal.
Ironisnya, realita khas sepak bola era industri seolah menegaskan, idiom "created by the poor, stolen by the rich" benar adanya.
Industrialisasi memang memajukan aspek bisnis dan menyempurnakan aspek teknologi, tapi kurang memanusiakan manusia, karena atlet dituntut "kerja keras bagai kuda" sementara masyarakat (dalam hal ini suporter) lebih banyak dilihat sebagai pembeli atau pelanggan.
Miris.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!