Seiring berkembangnya industrialisasi sepak bola, berbagai aspek di dalamnya pun ikut berkembang. Mulai dari taktik, teknik, sampai medium siaran langsung, semua berevolusi sampai ke titik yang sebelumnya tak terpikirkan, seperti layanan streaming yang bisa diakses di ponsel, laptop dan TV digital.
Di atas lapangan, teknologi VAR, yang di negara-negara maju sudah dilengkapi juga dengan teknologi detektor offside semiotomatis (SAOT), plus teknologi garis gawang.
Dengan detail selengkap ini, seharusnya sepak bola modern relatif bebas masalah. Hampir tak ada celah untuk membuat kesalahan atau keputusan kontroversial, kecuali jika ada "human error" fatal.
Tapi, sisi perfeksionis ini justru menjadi awal masalah lain, yakni penurunan kualitas permainan secara umum. Akibat detail ekstra yang ada, ditambah jadwal pertandingan superpadat, para pemain cenderung terlalu hati-hati.
Alhasil, sepak bola lebih bisa dinikmati, hanya sebagai satu tontonan olahraga ketimbang hiburan. Tak ada ruang improvisasi atau aksi individu cukup luas, karena itu rawan menjadi satu titik lemah.
Maklum, sepak bola era kekinian lebih terfokus pada sistem permainan yang padu secara kolektif. Hanya pemain berkemampuan sangat istimewa saja yang bebas berimprovisasi, dan tidak banyak pemain seperti itu dalam satu tim.
Maka, bukan kejutan kalau pertandingan sepak bola terasa hambar di era kekinian. Gaya main terlalu hati-hati, dan cenderung menunggu lawan membuat kesalahan memang terlihat rapi dari luar, tapi sangat membosankan.
Saking bosannya, sebagian penonton di rumah mulai terbiasa menonton siaran langsung sepak bola sambil lalu. Entah sambil masak, bersih-bersih atau yang lain. Tak bisa dipungkiri, adanya "aktivitas lain" di tengah tontonan menjadi satu obat bosan cukup ampuh.
Penurunan kualitas, terutama dari segi improvisasi dan kreativitas, menjadi satu paradoks, karena pada saat bersamaan, teknologi dan nilai jual maju pesat.
Lucunya, masalah ini juga diikuti dengan terus naiknya harga hak siar. Bagi pemilik hak siar, mungkin ini kabar baik, tapi bagi sebagian konsumen, ini menyeramkan, karena mereka harus menerima kenaikan harga layanan berbayar cukup tinggi dari tahun ke tahun. Seperti kena inflasi besar saja.
Sebelum akhirnya dialami konsumen, masalah kenaikan harga yang konstan ini menjadi satu alasan, kenapa tayangan liga-liga top Eropa di TV swasta nasional semakin jarang.
Sebagai perbandingan, antara 15-20 tahun terakhir, "nonton bola semalam suntuk" di TV terestrial masih bisa dilakukan, karena harga hak siarnya masih dalam jangkauan.
Setelah periode itu lewat, jumlah pertandingan yang disiarkan TV swasta nasional sangat terbatas, terutama pada kompetisi Liga Inggris. Pertandingan yang masih bisa dinikmati secara gratis kebanyakan datang dari duel antartim gurem.
Itupun masih dengan catatan, sinyal frekuensi siaran tidak diacak sistem. Seperti diketahui, sejak mekarnya era TV digital, ini kerap jadi masalah.
Akibatnya, untuk bisa nyaman menonton pertandingan sepak bola di TV digital, membeli paket siaran streaming berbayar menjadi satu-satunya pilihan aman. Disadari atau tidak, sistem yang ada seperti sudah didesain untuk mengarahkan konsumen "wajib" ke sana.
Memang, ini adalah satu konsekuensi dari industrialisasi sepak bola, olahraga dan media secara umum. Ada keuntungan yang harus dikejar, meski akhirnya harus mengorbankan daya beli masyarakat, dalam hal ini penonton.
Masalahnya, dengan kualitas tontonan yang cenderung stagnan, bahkan menurun, kenaikan harga layanan streaming berbayar (plus pajak) yang makin ke sini makin di luar jangkauan, justru membuatnya kurang layak dinikmati.
Kalau angka kenaikan harganya tidak drastis, itu masih bisa dimengerti. Tapi, kalau harganya naik terlalu banyak, bahkan sampai menembus angka jutaan rupiah, dengan kinerja kurang optimal, mohon maaf. Lupakan saja.
Masih banyak hal yang lebih layak diprioritaskan, daripada melayani pelaku bisnis yang main "aji mumpung" dan menikmati pertandingan yang kualitasnya cenderung menurun tapi harganya malah meroket
Mungkin, begitulah sistem kapitalisme bekerja. Tapi, berhubung tingkat pendapatan masyarakat cenderung stagnan, kenaikan harga, pajak dan inflasi yang rutin terjadi akan membuat sistem itu jadi blunder fatal, karena daya beli masyarakat yang terus digerus kenaikan harga, akan membuat pangsa pasar semakin terbatas
Industrialisasi sepak bola telah menjadikannya mewah dan bergelimang uang. Tapi, di balik gelimang uang dan gemerlapnya, sepak bola era industri telah berangsur menjadi eksklusif, kaku dan membosankan.
Tak ada lagi nilai universal yang benar-benar inklusif, seperti yang selama ini digembar-gemborkan, karena untuk bisa menontonnya di televisi saja harus membayar, dengan harga yang makin lama makin mahal.
Ironisnya, realita khas sepak bola era industri seolah menegaskan, idiom "created by the poor, stolen by the rich" benar adanya.
Industrialisasi memang memajukan aspek bisnis dan menyempurnakan aspek teknologi, tapi kurang memanusiakan manusia, karena atlet dituntut "kerja keras bagai kuda" sementara masyarakat (dalam hal ini suporter) lebih banyak dilihat sebagai pembeli atau pelanggan.
Miris.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H