Ada juga Ghana (1992), Korea Selatan (2012) dan Jepang (1968) yang sama-sama pernah meraih medali perunggu. Meski tak mampu meraih medali perunggu, kiprah Mesir (1928 dan 1964), India (1956), Honduras (2016) dan Irak (2004) sebagai semifinalis turut membuktikan, ada sisi dinamis yang menarik.
Catatan tertinggi sepak bola indonesia (sebagai negara merdeka) di kejuaraan level dunia pun hadir di Olimpiade. Tepatnya, kala Ramang dkk lolos ke perempatfinal.
Uniknya, dari rasa hambar ini juga, ada rekor unik yang masih menjadi satu-satunya di era modern, yakni keberadaan Lionel Messi dan Angel Di Maria sebagai peraih medali emas Olimpiade dan juara Piala Dunia.Â
Jadi, meski ada rasa hambar karena kekurangan bintang besar dunia, rasa hambar ini justru menciptakan potensi kejutan cukup menarik. Alhasil pemenang cabor sepak bola putra di Olimpiade menjadi lebih sulit ditebak.
Inilah yang membuat sepak bola putra di Olimpiade Paris terlihat menarik, karena rasa hambar yang ada justru "menjaga" unsur kejutan tetap lestari. Jadi pemeo "bola itu bundar" bukan pepesan kosong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H