Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Dua Sisi Rasa Hambar Olimpiade 2024

7 Juni 2024   23:58 Diperbarui: 10 Juni 2024   01:28 857
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Logo Olimpiade Paris 2024. (Koni.or.id via Kompas.com)

Sepanjang jeda musim panas 2024, pecinta sepak bola dimanjakan dengan hadirnya tiga turnamen mayor, yakni Euro, Copa America dan Olimpiade Paris. Ketiganya merupakan turnamen bergengsi.

Euro alias Piala Eropa 2024 merupakan turnamen antarnegara, yang format kompetisinya mulai jadi acuan di Asia dan Afrika sejak edisi 2016. Dari yang sebelumnya memakai format 16 peserta, lalu berkembang menjadi 24 peserta.

Sementara itu, Copa America disebut sebagai turnamen tingkat benua tertua di dunia. Edisi pertama turnamen ini digelar tahun 1916, atau 14 tahun sebelum Piala Dunia edisi perdana (1930) di Uruguay.

Dari ketiganya, Olimpiade punya level paling tinggi, karena pesertanya berasal dari seluruh dunia. Cabang olahraga sepak bola putra bahkan menjadi inspirasi FIFA menciptakan turnamen Piala Dunia.

Lewat Olimpiade juga, FIFA merintis perjalanan Piala Dunia, dengan mengorganisir Olimpiade cabang olahraga sepak bola putra edisi 1924 dan 1928, yang keduanya dimenangkan Uruguay. Capaian inilah yang membuat La Celeste punya 4 bintang di seragam mereka, meski "hanya" memenangkan Piala Dunia 2 kali (edisi 1930 dan 1950).

Tapi, sejak hadirnya Piala Dunia, daya tarik dan urgensi cabor sepak bola putra di Olimpiade pelan-pelan berkurang. Diawali dengan hadirnya batasan umur (U-23) dan kuota (maksimal 3 pemain senior) dalam 1 tim, lalu berlanjut ke posisi "event" yang tak masuk dalam kalender resmi FIFA.

Apa boleh buat, meski masuk bagian dalam acara olahraga multicabang terbesar di dunia dan sebenarnya cukup bergengsi, cabor sepak bola putra di Olimpiade terasa sangat hambar. Klub lebih punya kuasa untuk menolak panggilan tim nasional.

Kalaupun ada bintang besar yang ikut ambil bagian, biasanya itu diikuti dengan persyaratan khusus. Pada Olimpiade 2008, Lionel Messi meraih medali emas bersama Timnas Argentina, tapi AFA (PSSI-nya Argentina) sempat tarik-ulur dengan Barcelona.

Sebagai kompromi, Barca mengizinkan La Pulga ikut Olimpiade, tapi La Albiceleste tidak boleh melibatkan sang bintang di laga uji coba internasional.

Barcelona sekali lagi terlibat dalam drama serupa di Olimpiade 2016, dengan Neymar sebagai protagonis. Kala itu, CBF (PSSI-nya Brasil) berharap, Neymar bisa ikut ambil bagian di Copa America Centenario dan Olimpiade 2016 secara beruntun.

Tapi, The Catalans yang enggan ambil risiko lalu meminta CBF hanya melibatkan eks pemain Santos itu di satu turnamen saja. Sebagai bentuk kompromi, pemain yang kini memperkuat Al Hilal (Arab Saudi) itu disertakan dalam Olimpiade Rio De Janeiro, tapi absen di Copa America Centenario.

Alhasil, prestasi Selecao di dua ajang ini begitu kontras. Tim Olimpiade yang diperkuat Neymar mampu meraih medali emas di rumah sendiri, sementara tim yang bertarung di Copa America Centenario langsung rontok di fase grup.

Pada Olimpiade 2020 (digelar 2021) di Tokyo, Prancis mengizinkan Ibrahima Konate keluar dari tim, supaya bisa lebih fokus beradaptasi dengan klub barunya. Kala itu, Konate baru saja bergabung dengan Liverpool, setelah dari RB Leipzig.

Pada edisi 2024, indikasi rasa hambar itu setidaknya sudah terlihat. Sejumlah klub melarang pemain mereka ikut Olimpiade Paris.

Dari Spanyol, Real Madrid melarang semua pemainnya ikut Olimpiade. Larangan ini membuat Kylian Mbappe yang sempat diharapkan ikut Olimpiade di Paris, akhirnya tak masuk daftar pemain di tim asuhan Thierry Henry.

Di Inggris, Chelsea dan Manchester United kompak melarang pemain mereka ikut Olimpiade, demi bisa mempersiapkan diri di fase pramusim. Sejauh ini, kedua tim sama-sama siap melepas Enzo Fernandez dan Alejandro Garnacho ke Copa America, yang memang masuk kalender resmi FIFA.

Potensi tarik-ulur bisa terjadi di Aston Villa, karena Emiliano Martinez juga masuk pertimbangan pelatih Javier Mascherano untuk mengisi kuota pemain senior tim Olimpiade Argentina. Dengan lolosnya Villa ke Liga Champions terlalu riskan kalau kiper utama mereka punya jadwal superpadat.

Masih di Inggris, Arsenal juga melarang William Saliba ikut Olimpiade Paris. Perannya sebagai pilar lini belakang tim membuat Tim Gudang Peluru enggan ambil risiko.

Di Italia, Inter Milan memastikan Lautaro Martinez dilarang ikut Olimpiade Paris. Penyebabnya, sang penyerang berpeluang tampil di Copa America bersama Timnas Argentina.

Untuk ajang selevel Olimpiade, larangan klub dan potensi rasa hambar ini memang cukup disayangkan. Tapi, ini justru menjadi satu faktor kunci, yang membuat persaingan jadi lebih terbuka. Situasi yang kurang lebih mirip dengan Piala Dunia U-20 atau U-17.

Di sini tim unggulan dan non-unggulan punya kesempatan sama dalam mengejar medali emas. Jadi ini bukan arena duopoli tim sepak bola dari negara-negara Eropa atau Amerika Selatan. Terbukti, Nigeria (1996), Meksiko (2012), dan Kamerun (2000) mampu meraih satu medali emas.

Ada juga Ghana (1992), Korea Selatan (2012) dan Jepang (1968) yang sama-sama pernah meraih medali perunggu. Meski tak mampu meraih medali perunggu, kiprah Mesir (1928 dan 1964), India (1956), Honduras (2016) dan Irak (2004) sebagai semifinalis turut membuktikan, ada sisi dinamis yang menarik.

Catatan tertinggi sepak bola indonesia (sebagai negara merdeka) di kejuaraan level dunia pun hadir di Olimpiade. Tepatnya, kala Ramang dkk lolos ke perempatfinal.

Uniknya, dari rasa hambar ini juga, ada rekor unik yang masih menjadi satu-satunya di era modern, yakni keberadaan Lionel Messi dan Angel Di Maria sebagai peraih medali emas Olimpiade dan juara Piala Dunia. 

Lionel Messi dan Angel Di Maria, peraih medali emas Olimpiade 2008 dan juara Piala Dunia 2022 (Dailymail.co.uk)
Lionel Messi dan Angel Di Maria, peraih medali emas Olimpiade 2008 dan juara Piala Dunia 2022 (Dailymail.co.uk)
Jadi, meski ada rasa hambar karena kekurangan bintang besar dunia, rasa hambar ini justru menciptakan potensi kejutan cukup menarik. Alhasil pemenang cabor sepak bola putra di Olimpiade menjadi lebih sulit ditebak.

Inilah yang membuat sepak bola putra di Olimpiade Paris terlihat menarik, karena rasa hambar yang ada justru "menjaga" unsur kejutan tetap lestari. Jadi pemeo "bola itu bundar" bukan pepesan kosong.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun