Dengan bermaterikan pemain macam  Seydouba Ciss (Leganes), Ilaix Moriba (RB Leipzig), Ibrahim Diakit (Stade Reims) dan Lassana Diakhaby (Valenciennes) Guinea jelas bukan lawan enteng. Negara tetangga Senegal dan Mali ini juga punya karakter khas tim Afrika Barat: kuat secara fisik, bertenaga kuda, lincah, dan lugas.
Media dan warganet Indonesia boleh saja mengapungkan optimisme, dan (seperti biasa) menampilkan prediksi rasa ekspektasi, tapi sudah saatnya kita perlu mulai belajar realistis.
Komposisi tim Guinea berkebalikan dengan Garuda Muda. Sebagian besar pemain mereka bermain di Eropa (atau luar negeri) dan bermain secara reguler. Ada juga yang menjadi pemain inti di tim masing-masing.
Bukan berarti pesimis, kita perlu melihat, Timnas U-23 masih belum sepenuhnya siap ke level dunia. Mereka baru menapak level atas Asia, itupun baru pertama kali, sehingga masih perlu diuji, apakah sudah bisa konsisten atau belum.
Ini penting, karena konsistensi di level Asia bisa menjadi pijakan menuju level selanjutnya. Negara-negara seperti Korea Selatan dan Jepang sudah membangun itu sejak lama, dengan proses panjang selama puluhan tahun. Uzbekistan pun baru bisa konsisten di level junior Asia dan dunia, setelah 30 tahun lebih menjadi anggota AFC
Kalau belum apa-apa sudah langsung memikul harapan terlalu berat, kegagalan lolos ke Olimpiade Paris bisa menjadi satu kisah patah hati lain, seperti pada babak akhir Kualifikasi Olimpiade 1976 di era kepelatihan Wiel Coerver (Belanda).
Tim yang kala itu takluk dari Korea Utara di babak adu penalti memang menjadi satu tim legendaris di sepak bola nasional. Tapi, kekalahan itu menghasilkan luka dalam cukup parah, karena tim yang bertanding kala itu belum punya fondasi berupa pengalaman terbiasa bersaing di level atas Asia, apalagi dunia.
Terbukti, Indonesia baru bisa mencapai babak yang sama pada tahun 2024, atau hampir 50 tahun kemudian. Kalau tekanan yang sama masih ada, kekalahan atas Guinea (jika terjadi demikian) akan jadi satu luka parah lainnya.
Kalau sudah begitu, butuh waktu sangat lama untuk diobati, apalagi kalau PSSI dan pihak-pihak terkait tidak benar-benar serius membangun sepak bola nasional.
Jadi, daripada langsung membidik Olimpiade atau Piala Dunia, ada baiknya PSSI membiasakan Timnas Indonesia (di berbagai kelompok umur) lolos ke Piala Asia secara rutin, dan tampil di fase gugur.
Kalau sudah terbiasa, barulah pelan-pelan tim akan naik kelas. Soal kekurangan dari segi fisik atau teknik, itu sudah bisa diakali lewat keberadaan pemain diaspora Indonesia di tim.