Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Olimpiade? Lupakan Dulu!

3 Mei 2024   12:00 Diperbarui: 3 Mei 2024   12:24 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul di atas adalah satu pendapat saya, dan mungkin sebagian publik sepak bola nasional, setelah Timnas Indonesia U-23 takluk 1-2 dari Irak, dalam perebutan juara ketiga Piala AFC U23 2024. Dengan hasil ini, Indonesia gagal lolos otomatis ke Olimpiade Paris 2024.

Meski masih punya kesempatan terakhir di laga play-off Asia-Afrika melawan Guinea di Paris pekan depan, segala narasi bernada  optimis atau semacamnya layak ditepikan dulu, karena penampilan Garuda Muda di pertandingan melawan Irak terlihat kacau.

Memang, Marselino Ferdinan dkk sempat unggul lebih dulu lewat gol tendangan keras Ivar Jenner, tapi permainan tim terlihat kacau, khususnya ketika Irak meniru strategi pressing ketat Uzbekistan.

Hasilnya, Zaid Tahseen mampu menjebol gawang Ernando Ari, dan memaksa pertandingan lanjut ke babak perpanjangan waktu. Di sini, para pemain Timnas U-23 tampak begitu kewalahan mengimbangi agresivitas pemain Irak.

Berkali-kali, pertahanan yang digalang Justin Hubner tembus, dan akhirnya jebol, setelah Ali Jasim mencetak gol di babak perpanjangan waktu. Irak pun menang dan lolos ke Olimpiade 2024.

Terlepas dari capaian historis lolos ke semifinal Piala Asia U-23, penampilan Timnas U-23 saat melawan Irak justru menunjukkan, tim asuhan Shin Tae-yong masih punya kelemahan mendasar, dalam menghadapi partai bertekanan tinggi.

Mereka belum sepenuhnya terbiasa menjalani partai "menentukan" di bawah sorotan nonstop, dan lawan yang memang mempersiapkan diri dengan rapi. Dari partai melawan Uzbekistan dan Irak, kelemahan itu sangat terlihat, dan semakin terekspos, karena kualitas pemain inti dan cadangan masih jomplang.

Untungnya, baik Uzbekistan maupun Irak sama-sama tak terlalu klinis dalam penyelesaian akhir. Kalau kemampuan mencetak gol mereka lebih ampuh, Timnas U-23 sudah pasti kalah telak.

Guinea sendiri diketahui sudah mempersiapkan diri dengan melakukan pemusatan latihan di Spanyol. Tim Syli U-23 mengejar mimpi lolos ke Olimpiade untuk pertama kali sejak edisi 1968. FGF (PSSI-nya Guinea) juga menunjuk Kaba Diawara sebagai pelatih.

Eks pemain Bordeaux itu sudah melatih Timnas senior Guinea sejak 2021, dan membawa negaranya lolos ke perempatfinal Piala Afrika 2023. Jadi, tergambar jelas seberapa serius ambisi Guinea U-23 untuk lolos ke Olimpiade.

Dengan bermaterikan pemain macam  Seydouba Ciss (Leganes), Ilaix Moriba (RB Leipzig), Ibrahim Diakit (Stade Reims) dan Lassana Diakhaby (Valenciennes) Guinea jelas bukan lawan enteng. Negara tetangga Senegal dan Mali ini juga punya karakter khas tim Afrika Barat: kuat secara fisik, bertenaga kuda, lincah, dan lugas.

Media dan warganet Indonesia boleh saja mengapungkan optimisme, dan (seperti biasa) menampilkan prediksi rasa ekspektasi, tapi sudah saatnya kita perlu mulai belajar realistis.

Komposisi tim Guinea berkebalikan dengan Garuda Muda. Sebagian besar pemain mereka bermain di Eropa (atau luar negeri) dan bermain secara reguler. Ada juga yang menjadi pemain inti di tim masing-masing.

Bukan berarti pesimis, kita perlu melihat, Timnas U-23 masih belum sepenuhnya siap ke level dunia. Mereka baru menapak level atas Asia, itupun baru pertama kali, sehingga masih perlu diuji, apakah sudah bisa konsisten atau belum.

Ini penting, karena konsistensi di level Asia bisa menjadi pijakan menuju level selanjutnya. Negara-negara seperti Korea Selatan dan Jepang sudah membangun itu sejak lama, dengan proses panjang selama puluhan tahun. Uzbekistan pun baru bisa konsisten di level junior Asia dan dunia, setelah 30 tahun lebih menjadi anggota AFC

Kalau belum apa-apa sudah langsung memikul harapan terlalu berat, kegagalan lolos ke Olimpiade Paris bisa menjadi satu kisah patah hati lain, seperti pada babak akhir Kualifikasi Olimpiade 1976 di era kepelatihan Wiel Coerver (Belanda).

Tim yang kala itu takluk dari Korea Utara di babak adu penalti memang menjadi satu tim legendaris di sepak bola nasional. Tapi, kekalahan itu menghasilkan luka dalam cukup parah, karena tim yang bertanding kala itu belum punya fondasi berupa pengalaman terbiasa bersaing di level atas Asia, apalagi dunia.

Timnas Indonesia, patah hati di Kualifikasi Olimpiade 1976 (Kompas.id)
Timnas Indonesia, patah hati di Kualifikasi Olimpiade 1976 (Kompas.id)
Terbukti, Indonesia baru bisa mencapai babak yang sama pada tahun 2024, atau hampir 50 tahun kemudian. Kalau tekanan yang sama masih ada, kekalahan atas Guinea (jika terjadi demikian) akan jadi satu luka parah lainnya.

Kalau sudah begitu, butuh waktu sangat lama untuk diobati, apalagi kalau PSSI dan pihak-pihak terkait tidak benar-benar serius membangun sepak bola nasional.

Jadi, daripada langsung membidik Olimpiade atau Piala Dunia, ada baiknya PSSI membiasakan Timnas Indonesia (di berbagai kelompok umur) lolos ke Piala Asia secara rutin, dan tampil di fase gugur.

Kalau sudah terbiasa, barulah pelan-pelan tim akan naik kelas. Soal kekurangan dari segi fisik atau teknik, itu sudah bisa diakali lewat keberadaan pemain diaspora Indonesia di tim.

Tapi, bertanding di babak akhir kualifikasi turnamen sekelas Piala Asia, apalagi Olimpiade dan Piala Dunia tidak hanya membutuhkan keterampilan fisik dan teknik.

Ada tekanan mental begitu besar, yang hanya bisa ditangani jika sudah terbiasa berproses selangkah demi selangkah. Tidak  ada jalan pintas, karena tim yang seluruh pemain nya berisi pemain "abroad" atau diaspora sekalipun tetap butuh waktu untuk berproses dan berprogres, apalagi kalau liganya masih semrawut.

Hal yang sama juga berlaku untuk publik sepak bola nasional secara umum. Kalau masih getol mempersoalkan keputusan wasit dan bukti VAR secara bias, atau mempersoalkan strategi "furbizia" lawan, dan tak mengakui keunggulan lawan secara sportif, jangan berharap banyak. Persaingan di tingkat dunia jauh lebih kejam dan sulit dibanding level Asia.

Bisa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun