Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gatotkaca, dari Kompleksitas ke Kontradiksi

8 November 2023   23:09 Diperbarui: 9 November 2023   00:00 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lukisan Basoeki Abdullah, "Gatotkaca dan Para Putri Arjuna, Pergiwa-Pergiwati". (Dok. Agus Derawan T/Kompas.id)

Dalam epos wayang Mahabharata, Gatotkaca menjadi satu tokoh yang deskripsi latar belakangnya cukup konsisten, baik dalam versi asal maupun adaptasi.

Terbukti, versi epik India maupun pedalangan Jawa sama-sama "sepakat" bahwa Gatotkaca adalah manusia setengah raksasa berkekuatan super putra Bima (Pandawa nomor dua) dan Arimbi, yang gugur sebagai pahlawan di Perang Bharatayuda.

Tapi, dalam pewayangan versi Jawa, gambaran soal Gatotkaca adalah sesuatu yang cukup kompleks. Ada beragam nama alias seperti Tetuko, Guritno (tanpa awalan Wulan), dan Purbaya.

Dari segi keluarga, pewayangan versi Jawa (dalam versi masing-masing) sama-sama menyebut, Gatotkaca punya saudara seayah lain ibu.

Sebagai contoh, dalam pewayangan versi Surakarta, saudara Gatotkaca bernama Antareja alias Antasena. Dalam versi Yogyakarta, Antareja dan Antasena adalah kakak dan adik Gatotkaca.

Ini baru dua contoh versi. Belum termasuk versi daerah lain, seperti Bali (Wayang Parwa), Jawa Barat (Wayang Golek), Banyumas dan Jawa Timur, yang kalau dijabarkan akan lebih kompleks lagi.

Secara atribut, selain memiliki postur gagah, Gatotkaca juga mempunyai aneka senjata dan ajian kekuatan seperti Rompi Antakusuma, Caping Basunandha, Ajian Brajamusti dan Ajian Narantaka.

Semua kekuatan ini membuatnya punya fitur seperti Superman: bisa terbang secepat kilat, antigores, tahan panas, kedap air, kebal senjata, dan kuat di segala cuaca. Makanya, para dalang sering memakai frasa "otot kawat tulang besi" untuk menggambarkan ketangguhannya.

Secara kultural, Gatotkaca biasa menjadi satu simbol maskulinitas dan kekuatan yang tak lekang oleh waktu.

Terbukti, pada masa lalu, nama Tetuko dan Gatotkaca pernah digunakan sebagai nama untuk pesawat CN 235 dan CN 250 produksi IPTN (kini PT Dirgantara Indonesia).

Dalam konteks budaya kekinian, Gatotkaca telah menjadi salah satu karakter asal Indonesia dalam game "Mobile Legends".

Tapi, seperti yin dan yang, pada titik tertentu, kompleksitas karakter ini ternyata menyimpan kontradiksi.

Pada saat baru lahir sebagai Jabang Tetuko, momen "dimatangkan" di Kawah Candradimuka, maju sebagai jagoan para dewa, dengan puncaknya mengalahkan Patih Sekipu dan Kala Pracona, langsung menjadikannya seorang "superhero".

Tapi, momen ini didahului dengan masalah tali pusat, yang baru bisa dipotong menggunakan sarung tombak Kunta Wijayadanu. Meski menambah kekuatan Tetuko, pemotong tali pusat ini kelak juga akan menjadi titik lemah penyebab kematiannya di Perang Bharatayuda.

Tepatnya ketika senjata Kunta Wijayadanu (yang hanya bisa digunakan sekali) dilepas Adipati Karna, dan menembus tubuh Gatotkaca, saat menyatu kembali dengan sarungnya. 

Dalam pedalangan Jawa secara umum, momen heroik ini hadir dalam lakon "Gatotkaca Gugur", atau yang disebut juga sebagai "Suluhan". Disebut demikian, karena latar waktunya terjadi pada situasi pertempuran di malam hari, seperti pada Mahabharata versi India.

Pada momen kematiannya  Gatotkaca berada dalam posisi seperti Superman dan Batu Kriptonyte. Seorang superhero dengan kekuatan luar biasa, tapi punya satu kelemahan fatal.

Meski jadi satu kehilangan besar buat keluarganya, kematian sang Raja Pringgandani menjadi satu langkah penentu kemenangan Pandawa. Tanpa senjata Kunta, kelak Arjuna dapat mengalahkan Adipati Karna, dalam lakon "Karna Tanding" yang epik.

Diluar kontradiksi seputar kelahiran dan kematiannya, kontradiksi juga mewarnai kehidupannya.

Uniknya, meski kuat dan biasa diandalkan sebagai panglima perang, ternyata ada saat dimana sosok hebat sepertinya, bisa mendadak galau berat, karena jatuh cinta dengan Dewi Pergiwa pada pandangan pertama.

Momen ala Drama Korea ini awalnya terjadi, ketika Gatotkaca menolong si kembar Pergiwa-Pergiwati (putri Arjuna) dari kejaran Kurawa. Kisah cinta ini berakhir di pelaminan, setelah ia menang bersaing dengan Lesmana Mandrakumara (putra Duryudana, sang Kurawa tertua). Sementara itu, Pergiwati menikah dengan Pancawala (putra Yudistira, kakak Bima).

Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai seorang putra bernama Sasikirana. Kelak, ia menjadi panglima perang Kerajaan Astina di masa Prabu Parikesit (cucu Arjuna).

Dalam budaya Jawa klasik, momen saat Gatotkaca jatuh cinta ini menjadi inspirasi terciptanya tarian "Gatotkaca Gandrung". Tarian ini diciptakan oleh Mangkunegara V dari Surakarta pada tahun 1881.

Di luar kesan tangguh, maskulin dan kuat yang melekat padanya, Gatotkaca menjadi satu bukti kebenaran pepatah "tiada gading yang tak retak", karena ada saatnya sosok yang sangar bisa ambyar karena jatuh cinta, dan ada saatnya kekuatan bak Superman takluk oleh satu titik lemah.

Kontradiksi ini memang berlawanan dengan citra tokoh Gatotkaca secara "common sense", tapi justru dari sinilah karakternya menjadi utuh dan kuat. Makanya, nama Gatotkaca (dengan segala aliasnya) masih lestari, bahkan dalam budaya populer era kekinian.

Waktu boleh berlalu seperti halnya musim yang rutin berganti, tapi Gatotkaca akan tetap jadi Gatotkaca. 

#indonesianheritage  #hariwayangnasional

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun