Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Sepotong "Fair Play" di Kompasiana Awards 2023

24 Oktober 2023   17:34 Diperbarui: 24 Oktober 2023   17:43 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak awal bulan Oktober 2023, gaung Kompasiana Awards 2023 memang sudah terdengar. Responnya pun beragam. Ada yang santai, ada yang antusias, dan ada yang biasa saja.

Saya sendiri termasuk orang yang santai, karena memang tidak berharap banyak. Dapat ya berangkat, kalau tidak ya duduk manis di rumah. Saya tidak punya pintu kemana saja milik Doraemon atau bisa terbang seperti Gatotkaca, untuk bolak-balik dari Yogyakarta ke Jakarta dalam sekejap. 

Jujur saja, ketika nama-nama nominee diumumkan admin Kompasiana, saya  langsung gerak cepat memilih nama yang saya kenal, baik karena pernah bertemu langsung, berinteraksi di media sosial, atau keduanya.

Dari nama-nama yang saya pilih, nama Ikrom Zain menjadi salah satunya. Kami kadang berinteraksi di media sosial, dan pernah sekali waktu bertemu langsung, di Kompasianival tahun 2019.

Saya ingat, waktu itu Mas Ikrom juga masuk nominasi "Best In Citizen Journalism" di Kompasiana Awards, sama seperti tahun 2023. Prosesnya pun sama: dia dicalonkan Kompasianer lain tanpa sepengetahuan dirinya, bukan mencalonkan diri.

Soal kualitas dan konsistensi sebagai "Citizen Journalist", Kompasianer asal Malang ini memang stabil. Jadi, ini pilihan aman. Makanya, saya dengan iseng mengirim pesan "minta izin" untuk memilihnya, dan kami pun bertukar pesan sambil bercanda.

Biasanya, orang yang masuk nominasi penghargaan seperti ini akan langsung membuat posting di media sosial. Entah dalam bungkus kata "bersyukur" atau langsung kampanye secara frontal, muaranya tetap saja judul lagu yang dipopulerkan Krisdayanti: "Pilihlah Aku".

Ada juga yang tanpa malu-malu berkirim pesan kesana-kemari, dan mendadak terlihat lebih akrab dari biasanya. Tidak ada yang salah, karena ini memang bagian dari dinamika.

Perubahan sikap ini bisa dimengerti, karena belum tentu kesempatan yang sama akan datang lagi tahun depan. Uniknya, ini tidak terjadi ketika Mas Ikrom saya beri tahu kalau dirinya masuk nominasi. Malah, awalnya dia tidak percaya.

Setelah dicek dan benar namanya ada dalam daftar nominasi, berikut fotonya, rasa tidak percaya itu justru berubah jadi rasa heran. Hasilnya adalah respon seperti pada gambar tangkapan layar Instagram Story di atas.

Saya sendiri lalu berinisiatif membantu, dengan menyampaikan masukkan ini ke admin Kompasiana, dan membuat tulisan ini, setelah minta izin pada yang bersangkutan.

Lebih jauh, Mas Ikrom juga menyebut, ini agak kurang adil buat Kompasianer yang sudah rajin dan serius menulis, terutama mereka yang mampu konsisten menghadirkan tulisan berkualitas.

Dalam posisinya yang belakangan lebih banyak aktif di media sosial, rasa heran sang nominee ini bisa dimengerti. Saya sendiri saja masih tidak cukup percaya diri, meski tahun ini sudah mulai kembali terbiasa menulis secara rutin di Kompasiana.

Jangankan menominasikan Kompasianer lain, untuk tahun ini, menominasikan diri sendiri saja saya masih tidak berani.

Saya kadang masih terengah-engah untuk menulis satu artikel sehari, dan bukan tipikal Kompasianer yang suka blogwalking, karena mata sudah terlanjur kelelahan setelah menulis.

Kedua karakteristik itu jelas bukan tandingan mereka yang rajin blogwalking sepanjang waktu, dan kuat menulis sampai ratusan artikel dalam sebulan.

(Kompasiana.com)
(Kompasiana.com)
Secara pribadi, saya salut dengan keberanian Mas Ikrom, yang secara gamblang meminta kesempatan ini diberikan kepada orang lain yang lebih pantas menerima. Ini adalah satu sikap "Fair Play", yang (syukurlah) bisa dijumpai di Kompasiana Awards 2023.

Disadari atau tidak, masukan dari salah satu nominee Kompasiana Awards ini sebenarnya sudah mewakili satu fenomena umum di Kompasiana Awards. Ada Kompasianer yang bisa berkali-kali masuk nominasi, bahkan ada juga yang kembali masuk setelah pernah mendapat penghargaan.

Kalau pertimbangannya murni karena kualitas atau dampak positif yang dihasilkan, tidak ada yang salah. Seorang Lionel Messi saja pernah 7 kali meraih Ballon D'Or dan masih berpeluang meraih yang ke 8, setelah menginspirasi kemenangan Timnas Argentina di Piala Dunia 2022.

Masalahnya, karena Kompasiana Awards masih bertumpu pada hasil voting terbanyak, sistem ini akan sangat menguntungkan bagi nominee yang sudah punya jejaring luas dan pintar "cawe-cawe". Seperti Pemilu saja.

Di satu sisi, ini bisa mendorong Kompasianer untuk lebih aktif berkomunitas dan rajin menulis, sayangnya tidak semua Kompasianer bisa rajin menulis, cepat membaur dan berinteraksi dengan sesama Kompasianer.

Ditambah lagi, mereka yang tinggal di daerah belum tentu punya akses dan jejaring luas seperti di sekitaran Jakarta atau luar negeri. Ini belum termasuk urusan teknis seperti kualitas koneksi internet, gadget dan kemampuan si penulis.

Ada gap yang terlihat di sini, dengan dimensi kompleks; antara Kompasianer baru dan lama, daerah dengan pusat dan luar negeri. Bagi yang masih belum punya jejaring, masuk nominasi, apalagi menang, sebagus apapun kualitas tulisannya, penghargaan masih jadi adegan dalam angan.

Kalaupun ada kesempatan nama baru (apalagi pendatang baru) masuk, itu masih sebatas kategori statistikal, seperti pembaca terbanyak atau artikel terbanyak.

Pertanyaannya, apakah stamina menulis mereka sudah cukup kuat, seperti halnya militansi dalam membagikan tulisan? Belum tentu.

Memang, kekurangan ini sudah coba diakali Kompasiana, dengan adanya periode seleksi sebelum voting, penjurian dan menghadirkan kategori baru, yang dalam edisi tahun ini bertajuk "Kompasianer Paling Lestari".

Kategori ini sebenarnya relevan dengan masalah lingkungan yang belakangan terjadi. Seperti diketahui, Indonesia belakangan cukup akrab dengan cuaca dan suhu ekstrem.

Meski begitu, masih ada ruang perbaikan yang bisa dimaksimalkan, misalnya dengan membatasi seorang nominee maksimal terpilih sebanyak dua atau tiga kali, dan ada konfirmasi kesediaan bagi yang terpilih menjadi nominee.

Menambah kategori lagi mungkin bisa dilakukan di masa depan, sebagai solusi kuantitatif, tapi bukan opsi utama. Supaya optimal, perbaikan kualitas secara rutin lebih perlu dilakukan, karena dampaknya bersifat jangka panjang, sifatnya pun lebih umum alias lintas batas.

Jadi, ada ruang lintas generasi yang akan membuat para penulis baru maupun lama bisa seiring sejalan. Untuk saat ini, Kompasiana memang sudah menapak usia 15 tahun, dan ini adalah satu prestasi tersendiri di era digital.

Tapi, berhubung Kompasiana bergerak di ruang lintas batas, perlu ada pandangan berkelanjutan, yang juga mengakomodasi sisi keadilan, supaya pengalaman seperti pada kasus Mas Ikrom tidak terulang.

Sebuah penghargaan memang unik,  karena ia merupakan satu wujud apresiasi, karena itulah banyak yang sampai berambisi mengejarnya. Tapi, ambisi hanya akan membuat semua berakhir, segera setelah didapat, karena itulah tujuannya.

Sebaliknya, sebuah penghargaan akan membuat pemenangnya semakin berkembang menjadi lebih baik, jika orang itu memang layak mendapatkan, dan menjadikannya bukan sebagai satu tujuan akhir, tapi satu titik menuju perjalanan berikutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun