Ditambah lagi, mereka yang tinggal di daerah belum tentu punya akses dan jejaring luas seperti di sekitaran Jakarta atau luar negeri. Ini belum termasuk urusan teknis seperti kualitas koneksi internet, gadget dan kemampuan si penulis.
Ada gap yang terlihat di sini, dengan dimensi kompleks; antara Kompasianer baru dan lama, daerah dengan pusat dan luar negeri. Bagi yang masih belum punya jejaring, masuk nominasi, apalagi menang, sebagus apapun kualitas tulisannya, penghargaan masih jadi adegan dalam angan.
Kalaupun ada kesempatan nama baru (apalagi pendatang baru) masuk, itu masih sebatas kategori statistikal, seperti pembaca terbanyak atau artikel terbanyak.
Pertanyaannya, apakah stamina menulis mereka sudah cukup kuat, seperti halnya militansi dalam membagikan tulisan? Belum tentu.
Memang, kekurangan ini sudah coba diakali Kompasiana, dengan adanya periode seleksi sebelum voting, penjurian dan menghadirkan kategori baru, yang dalam edisi tahun ini bertajuk "Kompasianer Paling Lestari".
Kategori ini sebenarnya relevan dengan masalah lingkungan yang belakangan terjadi. Seperti diketahui, Indonesia belakangan cukup akrab dengan cuaca dan suhu ekstrem.
Meski begitu, masih ada ruang perbaikan yang bisa dimaksimalkan, misalnya dengan membatasi seorang nominee maksimal terpilih sebanyak dua atau tiga kali, dan ada konfirmasi kesediaan bagi yang terpilih menjadi nominee.
Menambah kategori lagi mungkin bisa dilakukan di masa depan, sebagai solusi kuantitatif, tapi bukan opsi utama. Supaya optimal, perbaikan kualitas secara rutin lebih perlu dilakukan, karena dampaknya bersifat jangka panjang, sifatnya pun lebih umum alias lintas batas.
Jadi, ada ruang lintas generasi yang akan membuat para penulis baru maupun lama bisa seiring sejalan. Untuk saat ini, Kompasiana memang sudah menapak usia 15 tahun, dan ini adalah satu prestasi tersendiri di era digital.
Tapi, berhubung Kompasiana bergerak di ruang lintas batas, perlu ada pandangan berkelanjutan, yang juga mengakomodasi sisi keadilan, supaya pengalaman seperti pada kasus Mas Ikrom tidak terulang.
Sebuah penghargaan memang unik, Â karena ia merupakan satu wujud apresiasi, karena itulah banyak yang sampai berambisi mengejarnya. Tapi, ambisi hanya akan membuat semua berakhir, segera setelah didapat, karena itulah tujuannya.