Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Memories of Skripsi

21 Mei 2023   00:20 Diperbarui: 21 Mei 2023   00:28 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bicara soal skripsi, banyak yang menganggap "raja terakhir" di masa kuliah ini sebagai bagian paling rumit. Tidak seperti kuliah teori yang serba terjadwal dan pasti selesai di akhir semester, skripsi tidak seperti itu.

Jika diibaratkan sebuah duel, kuliah teori adalah duel "keroyokan" melawan dosen,
skripsi adalah pertarungan satu lawan satu, yang terkadang jadi "satu lawan banyak", tergantung situasi.

Maklum, dalam rentang waktu satu semester yang cukup longgar, skripsi kadang menghadirkan aneka godaan lain. Entah ingin "healing", bosan, ganti topik, atau ganti dosen pembimbing.

Baca juga: Hitam Putih Skripsi

Godaan ini cukup menarik, walau kadang menjebak. Kalau diikuti dalam batas wajar, pikiran bisa lebih segar, karena "godaan" ini dimanfaatkan sebagai kesempatan "mengisi daya" sebelum akhirnya kembali fokus, dengan kondisi jauh lebih segar.

Masalahnya, kalau dijadikan ajang bersenang-senang untuk memanfaatkan celah waktu yang longgar, godaan ini bisa jadi gerbang menuju labirin skripsi.

Masalah inilah yang kerap menghasilkan aneka cerita galau di masa skripsi, bahkan membuat skripsi bisa lebih lama dari seharusnya. Situasi akan semakin pelik, kalau kita tidak paham dan konsisten dengan topik yang ingin kita kerjakan.

Semakin sering ganti topik, semakin makan waktu. Otomatis, semakin lama skripsi selesai.

Kalau penyebabnya karena ada pekerjaan atau magang, masih bisa dimaklumi, karena bisa jadi modal pengalaman penting, khususnya saat sudah lulus nanti.

Diluar godaan tersebut, hambatan lain juga bisa datang dari masalah yang memang terjadi, misalnya mengalami sakit cukup berat.

Kebetulan, jenis masalah kesehatan ini sempat saya alami, saat menyusun skripsi tahun 2015 lalu.

Awalnya, pengajuan topik skripsi saya berjalan lancar. Selain karena yakin, topik yang saya ajukan memang sudah dipersiapkan sejak mata kuliah seminar konsentrasi jurusan di semester sebelumnya.

Boleh dibilang, waktu itu saya tinggal tancap gas, dan memang berencana demikian. Apes, saya malah ambruk akibat kena demam berdarah.

Akibatnya, saya harus diopname selama 5 hari di rumah sakit. Setelah pulang dari rumah sakit, butuh waktu sekitar sebulan sampai bisa kembali sehat.

Jujur saja, situasi ini sedikit menyebalkan, karena saya dipaksa injak rem saat seharusnya bisa tancap gas. Rasa sebal saya makin bertambah, ketika fokus saya harus berbagi dengan rangkaian program Kuliah Kerja Nyata (KKN) mulai dari persiapan sampai tinggal selama sebulan di desa.

Pada akhirnya, saya memang masih bisa menuntaskan skripsi dan lulus di tahun yang sama. Ini melegakan, tapi kalau saja tak kena demam berdarah dan opname di rumah sakit, mungkin semua bisa selesai lebih cepat.

Terlepas dari sedikit penyesalan yang ada, pengalaman di masa skripsi itu sudah meninggalkan satu paket pengalaman berharga.

Bukan sebatas soal "Cara Membuat Skripsi" secara teknis, tapi juga soal bagaimana menghadapinya secara mental nyaris sendirian, dengan kondisi yang kadang dipaksakan.

Dari menyiasati kekurangan dibanding teman-teman lain secara fisik, menghadapi masa sulit karena sakit, sampai memahami maksud dosen pembimbing yang sangat detail.

Di sini, skripsi menjadi satu gambaran sederhana dari konsistensi dan tanggung jawab. Konsisten memang jadi kata kunci, karena menguji seberapa baik pemahaman dan reliabilitas kita.

Semakin konsisten, jalannya akan semakin simpel, begitupun sebaliknya. Kita hanya perlu fokus dan paham betul skripsi yang dikerjakan.

Diluar perannya sebagai "raja terakhir" di bangku kuliah, skripsi adalah kesempatan berharga untuk belajar teguh pada keyakinan, lewat argumentasi dengan dasar teori kuat, dan menyelesaikan apa yang sudah dimulai sejak masuk kuliah.

Ada perpaduan bagus antara intelektualitas dan integritas, yang seharusnya bisa diterapkan di dunia kerja setelah lulus kuliah.

Diluar memori perjuangannya, masa skripsi meninggalkan satu warisan berharga buat saya secara pribadi, dalam bentuk minat menulis, yang masih terus berlanjut hingga sekarang.

Dari menulis inilah, saya menemukan satu ruang bebas yang benar-benar inklusif, karena yang dilihat pertama kali adalah "apa yang ditulis" bukan "siapa penulisnya".

Tapi, memori berkesan yang ditinggalkannya bukan jaminan untuk saya  berminat menyusun tesis atau disertasi di masa depan. Bukan karena malas, tapi lebih karena melihat situasi di masa depan, khususnya setelah lulus.

Selama diskriminasi fisik dalam bungkus syarat "sehat jasmani dan rohani" atau sejenisnya masih ada, khususnya di Indonesia (setinggi apapun level studi lanjutnya) selama itu juga peluang kena diskriminasi fisik masih terbuka.

Inilah yang masih perlu diperbaiki, karena hal-hal seperti itu cukup kejam bagi yang mengalaminya. Sekeras apapun tempaan di masa skripsi, ia masih sebatas simulasi menuju realita yang jauh lebih keras. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun