"Apa yang sudah kamu lakukan di usia 15 tahun?"
Pertanyaan ini jadi satu pertanyaan yang muncul di pikiran sebagian orang, khususnya setelah nama seorang remaja bernama Agnes mencuat ke permukaan.
Kebanyakan orang mungkin akan menjawab, baru masuk SMA, lulus SMP, kenal cinta monyet, atau menikmati momen kebersamaan dengan sohib kental.
Senakal-nakalnya tingkah anak usia 15 tahun, paling mentok baku hantam dengan anak sekolah lain, melakukan bullying ke teman yang dianggap lemah, corat-coret tembok, atau berkenalan dengan rokok.
Tapi, semua jenis kenakalan remaja itu mungkin akan minder, jika melihat apa yang dilakukan seorang remaja bernama Agnes.
Berawal dari aduan ke pacarnya soal sang mantan, remaja yang baru beberapa bulan mengecap bangku SMA ini sukses menghadirkan satu level kenakalan remaja paling ajaib yang bisa dibayangkan.
Di usia 15 tahun, seluruh negeri sukses dibuat gempar. Bukan karena prestasi di level dunia atau membuat konten viral, tapi karena keterlibatannya dalam tindak kriminal. Belakangan, namanya bahkan sudah ditetapkan Polda Metro Jaya sebagai salah satu tersangka.
Karena jurus devide et impera-nya, korban yang juga mantan pacarnya sampai tak sadarkan diri. Banyak orang menyebut, dia adalah versi "lite" dari istri seorang mantan jenderal polisi yang kasusnya belum lama ketok palu.
Maklum, pacarnya adalah anak pejabat. Karena di negeri ini mantra "semua bisa diatur" masih tokcer, mungkin satu kontes "adu jago" antara pacar vs mantan tidak akan jadi masalah besar.
Lagipula, ini adalah satu fenomena umum bagi orang yang masih ingin merasakan suasana ala epos Ramayana atau Mahabharata: ada sayembara untuk memperebutkan seorang putri. Entah adu senjata atau adu kesaktian, dan itu diadakan secara terbuka, satu lawan satu, bukan keroyokan.
Sayangnya, Agnes kali ini salah pilih korban. Sang mantan adalah putra petinggi GP Ansor, yang dikomandani Menag Yaqut Cholil Qoumas. Ditambah lagi, video adegan penganiayaan itu viral di media sosial, dan memantik reaksi warganet.
Satu kombinasi yang sudah lebih dari cukup untuk membuat serangan balik mematikan. Seperti "blitzkrieg" Jerman di Stalingrad yang disapu balik Soviet pada Perang Dunia II. Sebuah momen dimana ambisi Si Kumis Kotak dan kroninya dibabat habis oleh Si Kumis Tebal dan Tentara Merah-nya dari arah timur.
Soal bagaimana reaksi warganet, saya rasa semua sudah tahu, sehebat apa warganet kita. Selain bisa melempar kata-kata sepedas BonCabe level 1000, ada juga yang jago mengorek informasi seputar Agnes dan sang pacar.
Untuk urusan mengorek informasi, kita semua tahu, kehebatan warganet Indonesia. Lembaga sekelas KPK saja tak ragu untuk mengajak kerja sama sebagai informan. Bukan kaleng-kaleng.
Maklum, mereka biasa bergerak seperti 007. Bukan hantu, tapi bisa bergerak tanpa suara atau bayangan. Mau simbahnya obat mules cap bintang tujuh atau restoran bintang lima sekalipun, semua bisa dikorek sampai tuntas.
Gara-gara kasus ini juga, banyak pihak kena getahnya.
Sang pacar ditahan polisi dan di-DO dari kampusnya, ayah sang pacar dicopot dan diperiksa karena diduga punya rekening gendut. Ditjen Pajak ketar-ketir, karena disorot habis masyarakat, disemprot Menkeu Sri Mulyani, dan disentil Presiden Jokowi.
Memang, sudah jadi rahasia umum kalau sektor perpajakan negara ini punya sebuah paradoks: pembayar pajaknya naik motor butut dan pakai kaos oblong hadiah kampanye parpol, sementara oknum pejabatnya hidup serba mewah.
Sejak zaman kolonial memang sudah begitu, dan masih diteruskan. Mungkin, mereka memang suka yang klasik, makanya punya koleksi dan klub kendaraan antik.
Tak cukup sampai disitu, SMA tempat Agnes bersekolah pun sempat terendam banjir rating bintang 1 di Google. Meski punya alumni setenar Dian Sastro dan Lucy Wiryono, satu tingkah polah seorang Agnes terbukti mampu merusak reputasi "sekolah favorit" yang sudah dibangun selama puluhan tahun.
Memang, belakangan Agnes memutuskan "mengundurkan diri" dari sekolah, tapi jejak kasus yang ditinggalkannya telah meninggalkan satu standar level tertinggi "kenakalan remaja" di Indonesia, karena mampu jadi berita di Indonesia dan mancanegara.
Benar-benar diluar nalar. Mungkin, energi inilah yang membuat Bung Karno berani bilang:
"Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia".
Omongan Bung Besar ini benar-benar valid. Jangankan 10, satu saja sudah terbukti mampu mengguncang dunia perpajakan nasional.
Tapi, ini seharusnya bisa jadi peringatan bagus buat "sekolah favorit" atau apapun sebutannya, untuk lebih hati-hati dalam menerima siswa dari keluarga berduit, sekaligus yang (setidaknya) merasa diri seorang "pangeran" atau "tuan putri".
Mereka memang punya uang lebih dari cukup untuk membayar semua biaya, tapi kalau kasus seperti Agnes muncul lagi hanya karena kurang waspada, ribet.
Rating bintang satu di Google memang bisa cepat dihapus, tapi tidak dengan memori kolektif  masyarakat. Apalagi kalau sekelas menteri dan Presiden sampai angkat bicara.
Jadi, tidak mengejutkan kalau kelak masih ada masyarakat yang mengasosiasikan sekolah itu dengan kasus Agnes. Kasus ini terlalu spektakuler untuk dilupakan begitu saja.
Di sisi lain, kasus ini seharusnya juga bisa jadi pelajaran buat KPAI dan lembaga terkait untuk lebih sadar situasi. Dengan semakin canggihnya teknologi, anak-anak dan remaja kekinian tampak semakin cerdas.
Itu sisi positifnya. Sisi negatifnya, ada banyak hal diluar nalar yang terus muncul, Â bahkan level kegilaannya cenderung naik.
Kasus kenakalan remaja Agnes yang levelnya sudah "menembus langit melampaui satelit" menjadi contoh paling segar.
Selama KPAI dan lembaga terkait masih santai bahkan cenderung tebang pilih, rasanya ini agak memalukan, karena aparat yang seharusnya fokus menjaga keamanan masyarakat malah dibuat pusing dengan kasus kenakalan remaja yang levelnya makin diluar nalar.
Kalau begitu terus, mau jadi apa negara ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H