Sayangnya, Agnes kali ini salah pilih korban. Sang mantan adalah putra petinggi GP Ansor, yang dikomandani Menag Yaqut Cholil Qoumas. Ditambah lagi, video adegan penganiayaan itu viral di media sosial, dan memantik reaksi warganet.
Satu kombinasi yang sudah lebih dari cukup untuk membuat serangan balik mematikan. Seperti "blitzkrieg" Jerman di Stalingrad yang disapu balik Soviet pada Perang Dunia II. Sebuah momen dimana ambisi Si Kumis Kotak dan kroninya dibabat habis oleh Si Kumis Tebal dan Tentara Merah-nya dari arah timur.
Soal bagaimana reaksi warganet, saya rasa semua sudah tahu, sehebat apa warganet kita. Selain bisa melempar kata-kata sepedas BonCabe level 1000, ada juga yang jago mengorek informasi seputar Agnes dan sang pacar.
Untuk urusan mengorek informasi, kita semua tahu, kehebatan warganet Indonesia. Lembaga sekelas KPK saja tak ragu untuk mengajak kerja sama sebagai informan. Bukan kaleng-kaleng.
Maklum, mereka biasa bergerak seperti 007. Bukan hantu, tapi bisa bergerak tanpa suara atau bayangan. Mau simbahnya obat mules cap bintang tujuh atau restoran bintang lima sekalipun, semua bisa dikorek sampai tuntas.
Gara-gara kasus ini juga, banyak pihak kena getahnya.
Sang pacar ditahan polisi dan di-DO dari kampusnya, ayah sang pacar dicopot dan diperiksa karena diduga punya rekening gendut. Ditjen Pajak ketar-ketir, karena disorot habis masyarakat, disemprot Menkeu Sri Mulyani, dan disentil Presiden Jokowi.
Memang, sudah jadi rahasia umum kalau sektor perpajakan negara ini punya sebuah paradoks: pembayar pajaknya naik motor butut dan pakai kaos oblong hadiah kampanye parpol, sementara oknum pejabatnya hidup serba mewah.
Sejak zaman kolonial memang sudah begitu, dan masih diteruskan. Mungkin, mereka memang suka yang klasik, makanya punya koleksi dan klub kendaraan antik.
Tak cukup sampai disitu, SMA tempat Agnes bersekolah pun sempat terendam banjir rating bintang 1 di Google. Meski punya alumni setenar Dian Sastro dan Lucy Wiryono, satu tingkah polah seorang Agnes terbukti mampu merusak reputasi "sekolah favorit" yang sudah dibangun selama puluhan tahun.
Memang, belakangan Agnes memutuskan "mengundurkan diri" dari sekolah, tapi jejak kasus yang ditinggalkannya telah meninggalkan satu standar level tertinggi "kenakalan remaja" di Indonesia, karena mampu jadi berita di Indonesia dan mancanegara.