Bicara soal sepak bola nasional, banyak orang sudah mengakui, betapa kuatnya animo suporter di sini. Di banyak daerah, ada beragam kelompok suporter fanatik, lengkap dengan rivalitas masing-masing.
Meski kadang berlebihan, belakangan rivalitas yang ada mulai bergeser ke arah positif. Salah satu pemicunya datang dari Tragedi Kanjuruhan, 1 Oktober 2022 silam.
Dari tragedi yang memakan korban jiwa 135 orang ini, banyak kelompok suporter yang tadinya sering bergesekan menjadi rukun, atau setidaknya mulai membangun jalan ke sana.
Sebagai contoh, Persis Solo bersama klub-klub dari Yogyakarta seperti PSS Sleman, Persiba Bantul, dan PSIM Yogyakarta sepakat berdamai, dalam balutan frasa "Mataram Is Love."
Tak cukup sampai disitu, sejumlah suporter Persiba dan PSIM bahkan sempat ikut menonton langsung di Stadion Maguwoharjo, saat PSS Sleman berjumpa Arema FC, Kamis (26/1) lalu.
Setelah sepakat berdamai, bus rombongan tim Persis Solo sendiri juga leluasa saat melintas di Yogyakarta. Tanpa pengawalan ketat, tetap aman-aman saja.
15 hari sebelumnya, Persija Jakarta juga bisa menjalani partai tandang ke Bandung dengan lancar. Meski masih naik rantis dari dan ke Stadion GBLA yang dipenuhi Bobotoh, pertandingan ini berjalan relatif kondusif. Sebuah kemajuan untuk ukuran laga dua tim rival bebuyutan.
Kedua tim juga tak sungkan melakukan transfer langsung di awal putaran kedua Liga 1 musim 2022-2023. Momen langka ini terjadi, kala Maung Bandung merekrut Rezaldi Hehanusa dari Tim Macan Kemayoran.
Tak ada drama berlebihan, apalagi penolakan diantara Bobotoh dan The Jak, dan ini jadi satu kemajuan lain yang layak diapresiasi. Sedikit demi sedikit, ada kemajuan menuju rivalitas yang lebih konstruktif.
Masalahnya, diantara pemandangan positif ini, masih terselip sisa-sisa masalah lama berupa aksi anarkis oknum suporter, yang kebetulan dialami dua tim tamu. Insidennya identik: pelemparan batu pada bus rombongan tim yang menimbulkan kerusakan.
Kejadian pertama yang jadi sorotan dialami Arema FC, tak lama setelah bertanding melawan PSS Sleman. Selain menimbulkan kerusakan pada bus, beberapa pemain Tim Singo Edan mengalami luka ringan
Sebenarnya, insiden ini bukan dipicu karena hasil akhir pertandingan, karena PSS menang 2-0, tapi lebih karena kekecewaan besar di kalangan suporter akar rumput, menyusul imbas Tragedi Kanjuruhan.
Seperti diketahui, selain membuat liga libur sampai dua bulan, tragedi ini menghasilkan efek domino yang membagongkan. Mulai dari penghentian kompetisi Liga 2 dan 3 sampai penghapusan degradasi di Liga 1.
Ajaibnya, Arema FC hanya didenda 250 juta rupiah plus menjalani laga kandang di luar Malang. Hanya karena 1 klub bermasalah, semua divisi kena imbas. Terlepas dari keberadaan Iwan Budianto (pemegang saham mayoritas klub) sebagai Waketum PSSI, ini jelas berpotensi memicu sanksi sosial.
Terbukti, Evan Dimas dkk ditolak di sejumlah daerah, saat akan menjalani laga kandang, dan mendapat serangan usai menghadapi PSS Sleman.
Hanya berselang dua hari, insiden penyerangan juga menimpa rombongan tim Persis Solo, tak lama setelah bermain imbang 0-0 melawan tuan rumah Persita Tangerang.
Meski juga menimbulkan kerusakan dan korban luka ringan, reaksi pascainsiden ini cepat tuntas dan viral di media sosial. Penyebabnya, segera setelah diserang, Ferdinand Sinaga dkk secara spontan melakukan upaya membela diri.
Mereka turun dari bus, mengejar, dan mengamankan terduga pelaku ke pihak berwajib. Sejauh ini, sudah ada 7 orang yang diamankan pihak berwajib.
Terkait insiden ini, Persita juga merilis pernyataan resmi, dan melaporkan secara resmi para terduga oknum suporter anarkis ke kepolisian. Sebuah reaksi yang seharusnya bisa lebih dibudayakan.
Rentetan aksi dan reaksi pasca Tragedi Kanjuruhan sebenarnya sudah menunjukkan adanya kemajuan dan kesadaran kolektif di kalangan suporter untuk lebih kompak sebagai saudara sebangsa.
Kekuatan persatuan ini sebenarnya adalah satu modal positif, untuk memperbaiki kekacauan dan beragam kekurangan di sepak bola nasional. Tapi, selama kekuatan besar ini tidak bergerak mendorong federasi untuk berubah, percuma.
Selama "jurus pecah belah" masih eksis di PSSI, selama itu juga sepak bola nasional sulit maju, karena keinginan untuk maju selalu datang dari tekad yang sudah jadi satu kesatuan utuh.
Maka, disinilah peran suporter sebagai "mata" bagi klub (sebagai voters di bursa Ketum PSSI) menjadi penting. Dengan apa yang sejauh ini sudah terjadi, sudah saatnya klub memilih figur yang bisa memajukan dan menyatukan, karena itulah yang saat ini paling dibutuhkan sepak bola nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H