Ketika kompetisi kembali bergulir, jadwal yang ada langsung padat selama dua minggu. Ini jelas membebani fisik dan mental para pemain, karena mereka dipaksa kembali "panas" secepat mungkin.
Mereka ini atlet yang terbiasa menjalani program latihan dan jadwal bertanding rutin, tapi malah diperlakukan seperti telur rebus yang harus matang dalam tiga menit.
Belum lagi, ketika narasi soal juara kembali  berdengung. Ini benar-benar menjadi beban berat buat tim.
Dalam kondisi amburadul seperti itu, target juara dalam balutan prediksi rasa ekspektasi jelas tak adil. Seperti memaksakan ponsel Android lawas bermemori terbatas untuk menyimpan begitu banyak data. Tidak korslet saja bagus.
Makanya, dalam beberapa kesempatan, saya tanpa ragu menulis, lolos fase grup saja sudah bagus buat Timnas Indonesia. Selebihnya bonus.
Ketika itu akhirnya terjadi di Vietnam, saya justru tidak melihat itu sebagai satu kegagalan, karena memang itu kapasitas aktualnya.
Di saat Vietnam bersama Thailand mulai berani bermimpi di level Asia, dan Malaysia mulai berkembang bersama Kim Pan Gon, disitulah posisi terkini sepak bola nasional.
Kita tidak bisa lagi beralibi soal potensi besar dan animo suporter, karena potensi itu tak pernah digarap, dan oknum suporter anarkis masih belum bisa ditertibkan.
Sudah bukan saatnya lagi PSSI dan pihak-pihak terkait membonceng animo tinggi suporter dan menyalahkan pelatih.
Masalah terbesarnya ada pada inkompetensi mereka sejak lama. Tragedi Kanjuruhan yang sudah tercatat sebagai tragedi stadion terburuk di Indonesia dan terburuk kedua di dunia, seharusnya sudah jadi contoh sangat valid.
Karena kerusakan yang ada sudah sangat parah, pelatih sekaliber Pep Guardiola, Carlo Ancelotti dan Jose Mourinho sekalipun akan terlihat tidak lebih baik dari pelatih kelas tarkam saat melatih Timnas Indonesia.