Judul di atas adalah pendapat saya soal Piala AFF, khususnya dalam hal manfaat. Oke, ini adalah turnamen bergengsi di Asia Tenggara, dan setiap kemenangan yang diraih bisa sedikit membantu tim peserta menambah poin di peringkat FIFA.
Bukan cuma itu, hadiahnya juga cukup menarik untuk ukuran Asia Tenggara, dengan nominal mencapai angka ratusan ribu dolar Amerika, lengkap dengan kebanggaan sebagai "tim terbaik di Asia Tenggara".
Makanya, kita sering mendengar, ada begitu banyak narasi optimis soal juara. Contoh terdekat, setiap kali ada Piala AFF, setiap kali itu juga narasi soal juara muncul.
Di Indonesia, PSSI juga biasanya membonceng narasi dan optimisme ini sebagai target prestasi Timnas Indonesia, meski kualitas sepak bola nasional masih begitu begitu saja. Kalau meminjam istilah komunitas gadget, PSSI benar-benar setia dalam menerapkan asas "target elit modal sulit".
Meski kenyataannya sering pahit, berandai-andai memang tidak dilarang, karena probabilitas kadang beda alam dengan realitas.
Jika melihat posisinya sebagai turnamen diluar agenda resmi FIFA, sebenarnya kita bisa menyebut, turnamen yang disponsori Mitsubishi ini sebetulnya tak penting-penting amat.
Terbukti, klub kasta ketiga Liga Inggris seperti Ipswich Town dan Gillingham saja bisa melarang Elkan Baggott ikut serta. Sebuah keputusan yang jelas tidak bisa diprotes pihak PSSI dan pelatih Shin Tae-yong.
Jadi, jangan kaget ketika JDT yang dominan di liga Malaysia saja bisa melarang para pemainnya bergabung dengan Timnas Malaysia. Apakah FAM (PSSI-nya Malaysia) menjatuhkan sanksi? Tidak.
Begitu juga dengan KV Mechelen (klub kasta tertinggi Liga Belgia) yang melarang Sandy Walsh bergabung dengan Timnas Indonesia, dan keputusan Chanatip Songkrasin (Thailand) yang memilih fokus mempersiapkan diri menghadapi musim baru Liga Jepang.
Di turnamen Piala AFF itu sendiri, peningkatan kualitasnya juga kurang maksimal. Masih belum ada teknologi VAR apalagi SAOT, yang membuat celah munculnya keputusan salah wasit masih terbuka lebar.
Jujur saja, menonton Piala AFF 2022, segera setelah melihat Piala Dunia 2022 yang keren dan futuristik, benar-benar sebuah lompatan retrospektif cukup jauh. Rasanya seperti diajak piknik naik mesin waktu ke era 1990-an oleh Doraemon.
Makanya, jangan heran kalau kita bisa melihat "akting" ala Doan Van Hau di lapangan, khususnya dalam laga Vietnam melawan Malaysia dan Indonesia.
Di dua pertandingan ini, sang pemain nomor punggung 5 beberapa kali lolos dari  kartu kuning wasit meski bermain kasar. Hebatnya, ia selalu lolos meski jelas mengincar kaki lawan, bukan bola.
Andai VAR sudah ada di Piala AFF 2022, pemain yang pernah mencederai Evan Dimas ini mungkin tak akan bisa mengkadali wasit seperti yang kita lihat sekarang.
Praktis, kalaupun ada peningkatan, biasanya itu datang dari internal tim kontestan. Sebagai contoh, Indonesia, Vietnam dan Malaysia sama-sama berkembang di bawah komando pelatih jebolan Timnas Korea Selatan.
Kamboja mulai meninggalkan cap medioker berkat kolaborasi dengan JFA (PSSI-nya Jepang). Thailand punya liga yang sudah memakai VAR dan pemain yang mentas di kasta tertinggi liga terbaik Asia.
Jadi, tidak banyak manfaat yang bisa diharapkan, kecuali Piala AFF masuk kalender FIFA. Soal keringnya manfaat ini bisa kita lihat, dari stagnasi level tim yang pernah juara.
Ada prestasi membanggakan, tapi itu tidak banyak membantu saat naik level. Jangankan level dunia, di Asia saja masih keteteran.
Singapura yang pernah berjaya di era Fandi Ahmad dan Noh Alam Shah masih
kesulitan untuk bisa lolos ke Piala Asia, Malaysia butuh perombakan total di liga dan tim nasional, sebelum akhirnya bisa tampil lagi di Piala Asia. Indonesia juga harus menunggu belasan tahun, sebelum akhirnya bisa tampil lagi di Piala Asia.
Dua tim lain, yakni Thailand dan Vietnam bahkan sempat stagnan, sebelum akhirnya mulai menaikkan level target, dan bisa menembus fase gugur Piala Asia.
Jadi, jangan senang dulu kalau Thailand dan Vietnam tampil tanpa bintang utama. Bagi mereka, turnamen yang dulunya bernama Piala Tiger ini hanya ajang eksperimen taktik.
Kalau Piala AFF masuk kalender FIFA, dan bahkan diselenggarakan oleh FIFA seperti Piala Arab, jelas ada manfaat lebih dibanding satu kebanggaan semu. Tim yang ada juga bisa tampil dengan komposisi terbaik.
Seperti diketahui Piala Arab yang mempertemukan negara-negara Jazirah Arab sudah masuk kalender reami FIFA dan penyelenggaraannya dikelola FIFA sejak edisi 2021 dengan nama resmi FIFA Arab Cup.
Itu baru soal kualitas, belum isu-isu lain yang sudah lama berseliweran, misalnya pengaturan skor atau judi.
Dengan minimnya manfaat yang ada (khususnya untuk peningkatan kualitas tim dalam jangka panjang) sudah saatnya PSSI dan pihak-pihak terkait lebih fokus membenahi kualitas sepak bola nasional dan mengatur ulang prioritas, kecuali memang sudah tidak ada niat untuk maju.
Bisa berpreatasi di level Asia Tenggara memang membanggakan, tapi jika hanya menghasilkan kebanggaan semu, itu hanya titik awal dari stagnasi dan kemunduran lebih parah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H