Judul di atas, adalah satu pertanyaan yang terlintas di pikiran saya, seturut munculnya fenomena "bubble burst" alias ledakan gelembung yang terjadi di sejumlah start up, khususnya di Indonesia, dalam beberapa hari terakhir.
Fenomena ini memicu terjadinya PHK massal di sejumlah start up alias usaha rintisan bervaluasi besar. Alhasil, posisi usaha rintisan, yang dalam beberapa tahun terakhir lebih dipilih generasi muda ketimbang CPNS atau BUMN sekalipun, kini berada dalam tanda tanya.
Seperti diketahui, budaya kerja dinamis dan tawaran gaji menarik sukses menjadi daya tarik tersendiri. Maklum, kedua hal ini sangat relatable dengan generasi muda era kekinian.
Sekalipun masih berupa usaha rintisan, kedua daya tarik itu jelas sulit ditolak mentah-mentah, khususnya bagi mereka yang sedang merintis karier.Â
Persetan dengan ketidakstabilan khas usaha rintisan, yang penting dapat gaji besar. Maklum, jika dapat gaji awal karier cukup besar, ini akan jadi satu pijakan bagus menuju lompatan karier berikutnya.
Masalahnya, ketika fenomena ledakan gelembung menjangkiti, masihkah usaha rintisan layak jadi pilihan?
Jika jawabannya ya atau tidak, usaha rintisan masih layak dipilih, hanya jika ia adalah perusahaan "tiga besar" di bidangnya, entah transportasi, e-commerce, atau yang lainnya.
Disebut demikian, karena perusahaan "tiga besar" ini umumnya sudah mampu bertahan dari fase seleksi alam, termasuk kompetisi ekstrem. Mereka sudah tahu, siapa lawan, siapa konsumen, dan apa yang harus dilakukan, lengkap dengan jejaring luas yang sudah terbangun kuat.
Dalam artian, mereka sudah bisa "memutar uang", karena sudah punya konsumen loyal dan lebih fokus pada pengembangan kualitas produk atau jasa. Bukan lagi menjual ide keren atau bakar uang demi menggaet konsumen sebanyak mungkin, tapi tidak jelas produknya apa.
Perusahaan jenis ini jelas bukan usaha rintisan sembarangan, karena peluang untuk lolos dari fase seleksi alam di usaha rintisan kurang dari 10 persen, dan semakin kecil saat ada disrupsi lain di masa depan.
Selebihnya, usaha rintisan adalah tempat yang pas untuk mahasiswa atau pelajar yang ingin magang. Meski durasinya singkat, ada cukup banyak pengalaman, yang nanti bisa berguna, saat sudah benar-benar terjun di dunia kerja.
Mungkin, sedikit pendapat saya ini akan ditentang habis-habisan oleh mereka yang cinta tantangan, karena dianggap terlalu pengecut atau bermental pegawai, bukan pengusaha.
Tapi, dalam situasi yang masih serba tidak pasti seperti sekarang, kebanyakan orang jelas akan lebih memilih hal yang sudah pasti, misalnya gaji tetap yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan tabungan untuk dana darurat.
Sederhananya, untuk melewati lautan luas penuh gelombang, kapal dan pesawat akan jauh lebih berguna ketimbang papan selancar atau rakit.
Lagipula, bekerja menjadi pegawai atau karyawan bukan sebuah kejahatan. Apa hidup secara "biasa saja" di dunia yang absurd ini sudah dilarang?
Pandangan realistis ini sebenarnya normal, tapi menjadi "kuno" di mata sebagian pelaku usaha rintisan. Terutama, bagi mereka yang cara pandangnya kurang membumi.
Kalaupun ada saran, itu hanya sebatas kata-kata mutiara seperti "berpikir dan bermimpi besar" atau "membangun usaha rintisan sendiri".
Sebuah logika terlalu dangkal, yang bisa berbahaya untuk ditiru. Apalagi, kalau si pelaku usaha rintisan ini sebenarnya masih kepayahan dalam berbisnis.
Padahal, bos tidak akan disebut bos, kalau tidak ada orang yang mau dia pimpin. Lucunya, kadang orang-orang seperti ini bisa bergaya bak Elon Musik atau pebisnis lain yang sudah stabil.
Cara berpikir ini, sebenarnya merupakan cermin dari bagaimana usaha rintisan itu dikelola, berikut pola pikir dan gaya hidup yang ada di dalamnya.
Inilah yang membuat usaha rintisan kurang layak jadi pilihan untuk jangka panjang. Terutama, pada usaha rintisan yang masih kembang kempis, meski rutin disuntik dana melimpah dari investor.
Saya menyebut jangka panjang, karena usia kerja rata-rata memang panjang. Dengan rentang usia pensiun rata-rata 55-60 tahun, ada rentang waktu 30-40 tahun untuk seseorang berkarier sebelum menikmati hari tua.Â
Inilah yang kurang diperhatikan oleh pelaku usaha rintisan, terutama di unit usaha dengan tingkat frekuensi pergantian karyawan cukup sering. Masih belum ada pemikiran jangka panjang di sini, jadi agak diragukan aspek keberlanjutannya.
Satu kesalahan fatal lain yang biasa muncul adalah, suntikan dana dari investor ini kadang digunakan pelaku usaha rintisan untuk hal-hal kurang produktif, seperti gaya hidup bos yang hedonis dan konsumtif.
Gaya hidup ini bisa jadi masalah, jika para pegawai "dipaksa" mengikuti arus dengan biaya sendiri, misalnya dengan alasan "demi membangun image positif perusahaan".
Apa boleh buat, mereka terpaksa menerapkan asas "guru kencing berdiri, murid kencing berlari" karena terbawa arus dengan sang bos. Akibatnya, para pegawai ini jadi terlalu konsumtif.
Mereka repot-repot membayar cicilan tagihan belanja tiap bulan, untuk makanan atau barang mahal yang seharusnya tidak perlu mereka beli. Terlewat sedikit saja, bisa repot urusannya. Apalagi kalau ada yang sampai terjerat pinjol ilegal.
Memang, gaji dan kerja keras mereka adalah sesuatu yang produktif, tapi jika itu malah habis, bahkan minus, hanya untuk menunjang konsumerisme, berarti ada pemiskinan sistematis di sini.
Dalam kondisi normal, mungkin semua akan baik-baik saja. Meskipun kinerja bisnis memble, valuasi bisa terus menggelembung karena rutin disuntik dana melimpah.
Tapi, ketika suntikan itu macet, habislah sudah. Kinerja bisnis yang jelek akan membuat gelembung valuasi meledak dan membuahkan PHK massal.
Situasi ini sebenarnya wajar, karena dari awal logikanya sudah terbalik: bukan produk atau jasa yang dibangun untuk menghasilkan cuan, sehingga bisa membangun kepercayaan konsumen dan investor, tapi suntikan dana investor sebanyak-banyaknya.
Saya menyebut ini terbalik, karena suntikan dana investor sebenarnya adalah utang perusahaan. Investor bukan kasih ibu yang "hanya memberi tak harap kembali".
Kurang lebih sama seperti meminjam uang di bank. Ada jatuh tempo dan bunga yang harus dibayar.
Kalau pelaku usaha rintisan mendapat suntikan dana, seharusnya uang itu bisa langsung diputar untuk menjalankan bisnis, supaya jadi profit. Bukan untuk pencitraan, apalagi hura-hura tidak penting.
Siapa berani berutang, biasanya tahu seberapa besar kemampuan bayar mereka. Kecuali kalau mereka memang terbiasa mengemplang.
Fenomena ledakan gelembung mungkin jadi pukulan berat buat usaha rintisan dan karyawan yang terdampak. Makanya, banyak yang menyebut, ini jadi penanda senjakala usaha rintisan.
Tapi, seharusnya ini bisa jadi satu momen penyadaran yang baik, khususnya bagi para pelaku usaha rintisan, atau mereka yang ingin merintis usaha rintisan.
Tidak ada lagi ruang untuk main-main dengan suntikan dana investor, karena investor sudah semakin selektif. Mau tak mau, mereka harus mulai, dan membangun semua dari bawah.
Kalau ini memang disadari dan bisa dilakukan dengan benar, seharusnya berkarier di usaha rintisan bisa jadi pilihan ideal untuk jangka panjang.
Jika tidak, era akhir start up memang sudah dekat. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan, dari usaha rintisan yang jadi beban ekonomi nasional, akibat terus merugi dan panen PHK massal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H