Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Saat Medsos Terlihat "Horor"

1 Juni 2022   14:37 Diperbarui: 1 Juni 2022   14:38 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi medsos (Kompas.com)

Di era kekinian, media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram menjadi satu instrumen yang digunakan kebanyakan orang, terutama generasi muda. Tujuannya pun beragam, mulai dari sebatas narsis atau pamer, sampai mengeruk cuan.

Tak cukup sampai disitu, media sosial juga menjadi satu tempat yang sangat riuh, khususnya di Indonesia. Maklum, sebagian warganet kita punya respon secepat kilat dalam berkomentar.

Dampaknya pun bukan kaleng-kaleng, karena bisa mengubah secara masif. Makanya, media sosial belakangan jadi satu tempat untuk mengadu, karena dampak positif "the power of netizen" kadang bisa membuat Superman sekalipun merasa minder.

Lebih lanjut, celotehan khas warganet kita kadang "out of the box", dan bisa menghibur, layaknya komedian handal. Sebuah paduan unik dari kekuatan kolektif terbesar di dunia maya kita.

Masalahnya, kekuatan kolektif ini kadang digunakan secara berlebihan. Alhasil, media sosial menjadi satu tempat yang horor, karena risakan dan cancel culture alias boikot massal tumbuh subur.

Apa boleh buat, kekuatan "Hero" milik warganet pun pada titik ini berubah jadi satu medium perusak. Alhasil, banyak yang memilih jeda sementara dari media sosial, sekalipun salah satu sumber nafkahnya berasal dari sana.

Mereka hadir dari berbagai latar belakang. Mulai dari pesohor seperti Deddy Corbuzier, sampai orang biasa.

Di sini, para warganet yang punya "the power of netizen" justru lebih mirip seperti oknum pejabat, yang punya kharisma dan dipercaya banyak orang, tapi malah korupsi. 

Efeknya pun bisa bikin makhluk astral kadang memilih ikut syuting film komedi saja, karena efek samping "power of netizen" ini sering terlihat lebih horor dari film horor sekalipun.

Di sisi lain, sisi horor media sosial di Indonesia sebenarnya cukup bisa dimengerti. Karena, dalam hal kebebasan berekspresi, bangsa kita baru mulai "merdeka" seutuhnya pada 21 Mei 1998.

Tentu saja, perbedaannya masih cukup jauh, jika dibandingkan dengan umur "kemerdekaan" secara administratif, yang diproklamirkan 17 Agustus 1945.

Ibarat seorang manusia, negara ini secara fisik dan historis berumur 77 tahun pada bulan Agustus mendatang. Satu fase yang seharusnya sudah kenyang pengalaman dan bisa berpandangan lebih bijak.

Tapi, dalam hal berekspresi, umurnya baru 24 tahun. Satu fase dimana semangat sedang menggebu-gebu, lengkap dengan tenaga ekstra untuk melakukan banyak hal sekaligus.

Lebarnya gap umur ini tentu bisa dimengerti, karena antara tahun 1945-1998, Indonesia memang dipegang dua periode pemerintahan sentralistik, setelah melalui perjuangan panjang meraih kemerdekaan.

Selama periode ini, berpendapat adalah satu hal yang harus dilakukan sehati-hati mungkin. Salah bicara sedikit saja, bisa kena bredel.

Makanya, ketika era reformasi datang, euforia datang bersama kebingungan. Tak ada arahan tegas soal berpendapat, yang bisa jadi pedoman bersama.

Memang, ada UU ITE, tapi yang sering muncul di pemberitaan adalah "pasal karet" yang masih jadi titik rawan, seperti "pencemaran nama baik" atau "perbuatan tidak menyenangkan".

Padahal, selain memberikan kebebasan, pemerintah seharusnya juga perlu mengedukasi masyarakat, supaya bisa menggunakannya secara bertanggung jawab. Sama seperti asas kebebasan di negeri ini: kebebasan yang bertanggung jawab.

Misalnya, dengan menanamkan kesadaran berliterasi, sebelum akhirnya dibudayakan. Titik fokusnya bukan hanya pada angka melek literasi secara kuantitatif, tapi juga secara kualitas.

Dengan demikian, komentar yang ada di media sosial tidak asal bunyi, karena urutan antara memahami konteks dan berkomentar tidak terbalik.

Lebih jauh, dengan kualitas melek literasi yang baik, masyarakat bisa menjaga dirinya dari ragam penipuan di media sosial, yang memang banyak digunakan oknum nakal untuk melakukan penipuan, antara lain investasi bodong.

Kegaduhan pun bisa diminimalkan sejak awal, dan penilaian negatif tentang etika berinternet orang Indonesia bisa terus berkurang.

Jadi, gap antara usia historis dan kebebasan berekspresi di Indonesia bisa dijembatani. Jangan sampai, image "bar-bar" melekat terlalu lama, kecuali jika itu adalah "bar-bar" dalam arti positif.

Memang, dalam beberapa kesempatan, celoteh pedas dan kecepatan jempol warganet kita memang bisa jadi alat kontrol yang oke. Tapi, supaya manfaat yang dihasilkan bisa lebih luas dan konsisten, potensi ini perlu dibekali dan diarahkan, supaya bisa lebih efektif.

Kebebasan berpendapat di era kemajuan teknologi memang satu anugerah. Tapi, jika kebebasan itu tidak terkendali, bahkan sampai memicu perpecahan, ini adalah sebuah bencana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun