Tentu saja, perbedaannya masih cukup jauh, jika dibandingkan dengan umur "kemerdekaan" secara administratif, yang diproklamirkan 17 Agustus 1945.
Ibarat seorang manusia, negara ini secara fisik dan historis berumur 77 tahun pada bulan Agustus mendatang. Satu fase yang seharusnya sudah kenyang pengalaman dan bisa berpandangan lebih bijak.
Tapi, dalam hal berekspresi, umurnya baru 24 tahun. Satu fase dimana semangat sedang menggebu-gebu, lengkap dengan tenaga ekstra untuk melakukan banyak hal sekaligus.
Lebarnya gap umur ini tentu bisa dimengerti, karena antara tahun 1945-1998, Indonesia memang dipegang dua periode pemerintahan sentralistik, setelah melalui perjuangan panjang meraih kemerdekaan.
Selama periode ini, berpendapat adalah satu hal yang harus dilakukan sehati-hati mungkin. Salah bicara sedikit saja, bisa kena bredel.
Makanya, ketika era reformasi datang, euforia datang bersama kebingungan. Tak ada arahan tegas soal berpendapat, yang bisa jadi pedoman bersama.
Memang, ada UU ITE, tapi yang sering muncul di pemberitaan adalah "pasal karet" yang masih jadi titik rawan, seperti "pencemaran nama baik" atau "perbuatan tidak menyenangkan".
Padahal, selain memberikan kebebasan, pemerintah seharusnya juga perlu mengedukasi masyarakat, supaya bisa menggunakannya secara bertanggung jawab. Sama seperti asas kebebasan di negeri ini: kebebasan yang bertanggung jawab.
Misalnya, dengan menanamkan kesadaran berliterasi, sebelum akhirnya dibudayakan. Titik fokusnya bukan hanya pada angka melek literasi secara kuantitatif, tapi juga secara kualitas.
Dengan demikian, komentar yang ada di media sosial tidak asal bunyi, karena urutan antara memahami konteks dan berkomentar tidak terbalik.
Lebih jauh, dengan kualitas melek literasi yang baik, masyarakat bisa menjaga dirinya dari ragam penipuan di media sosial, yang memang banyak digunakan oknum nakal untuk melakukan penipuan, antara lain investasi bodong.