Dalam beberapa hari terakhir, bahasan soal fenomena "Bubble Burst" alias ledakan gelembung pada usaha start up (selanjutnya saya sebut usaha rintisan) di Indonesia terus mengemuka.
Penyebabnya, ada sejumlah usaha rintisan yang terpaksa melakukan PHK massal, menyusul krisis keuangan dan penurunan kinerja bisnis di sana.
Sebelum meledak menjadi satu krisis, usaha rintisan banyak disebut sebagai satu disrupsi ekonomi, karena banyak mendorong terjadinya digitalisasi di berbagai sektor, dengan nilai perputaran uang dan investasi masuk sangat besar.
Disrupsi ini juga merambah ke alam pikiran generasi muda. Banyak yang lebih memilih untuk bekerja di usaha rintisan, atau bahkan menjadi "founder" usaha rintisan.
Maklum, budaya kerjanya lebih bebas. Bisa datang sesukanya, tidak perlu pakai seragam. Konon katanya, budaya dan waktu kerja di sini fleksibel. Gajinya pun bisa diatas rata-rata.
Sumber dananya bagaimana? Cukup buat proposal ide keren, suntikan dana melimpah dari investor akan datang. Semakin banyak dapat suntikan semakin bagus.
Sekalipun rencana dan konsepnya abstrak, semua akan baik-baik saja. Yang penting, sering tampil di media, ikut lomba, dan jadi pembicara seminar bisnis. Produk? Nomor sekian.
Makanya, CPNS belakangan bukan lagi jadi primadona, bahkan ada yang menyebut profesi "idaman mertua" ini masuk senja kala. Buktinya, ada ratusan calon PNS yang baru-baru ini mengundurkan diri secara massal, karena gajinya dianggap tak sesuai harapan.
Masalahnya, walaupun istilah dan budayanya terlihat keren, kekacauan di usaha rintisan sudah ada sejak awal. Besaran gaji yang di atas rata-rata sebenarnya cukup merusak, karena membuat banyak pencari kerja jadi terlalu "demanding".
Saking demanding-nya, bukan hal baru jika fresh graduate berani menolak tawaran gaji dua digit per bulan dari BUMN, karena standar gaji di usaha rintisan lebih tinggi.