Dalam beberapa tahun terakhir, ada satu fenomena menarik di Liga Inggris. Bukan dari klub papan atas, tapi dari Norwich City, klub yang saat ini terjebak di posisi juru kunci klasemen sementara.
Klub berkostum kuning-hijau ini menampilkan satu tren layaknya tim yo-yo. Dalam empat musim terakhir, mereka gemar naik-turun kasta,
Dari juara Championship Division ke Liga Premier Inggris, lalu degradasi ke Championship Division, sebelum akhirnya promosi lagi ke Liga Premier Inggris, sebagai tim juara kompetisi kasta kedua Liga Inggris musim 2020/2021.
Dari segi materi pemain, klub penghuni Stadion Carrow Road ini memang punya kemampuan cukup bagus untuk mengejar tiket promosi.
Dimulai dari kedatangan Daniel Farke (Jerman) di kursi pelatih di musim panas 2017, The Canaries mulai membangun kembali tim secara perlahan.
Setelah finis di posisi 14 Championship Division musim 2017-2018, nama-nama seperti Tim Krul (Belanda), Emiliano Buendia (Argentina), dan Teemu Pukki (Finlandia) didatangkan ke klub Norfolk, untuk menambah kekuatan tim.
Ketiganya lalu menjadi pemain kunci yang membantu tim menjuarai kompetisi kasta kedua Liga Inggris musim 2018-2019, dengan nama terakhir meraih penghargaan Pemain Terbaik dan Pencetak Gol Terbanyak.
Di awal musim, 2019-2020, The Canaries sempat mengejutkan dengan mengalahkan Manchester City 3-2. Tapi, rentetan hasil buruk yang datang setelahnya, membuat mereka terpuruk di zona merah.
Memang, Teemu Pukki mampu mencetak 11 gol, dan tim ini mampu lolos ke babak perempatfinal Piala FA, berkat kegemilangan Tim Krul saat babak adu penalti di markas Tottenham Hotspur. Seperti diketahui, kiper asal Belanda itu memang dikenal jago di babak tos-tosan.
Sayangnya 24 poin yang mereka dapat tak mampu menghindari jeratan degradasi. Secara tragis, mereka terdegradasi ke kasta kedua, sebagai tim juru kunci klasemen akhir.
Segera setelah terdegradasi, Si Burung Kenari mampu menjadi juara lagi di Championship Division musim 2020/2021. Kali ini, Teemu Pukki kembali menjadi ujung tombak, dengan mencetak 26 gol.
Tapi, Emiliano Buendia muncul sebagai pemain terbaik kompetisi, berkat 15 gol dan 16 assist-nya. Performa ini membawanya dipanggil Timnas Argentina dan pindah ke Aston Villa di musim panas 2021.
Sebagai gantinya, Farke memang memboyong Milot Rashica dari Werder Bremen. Kebetulan, pemain kelahiran tahun 1996 ini memang tampil cukup baik di Bundesliga.
Tapi, meski menjadi satu pemain kunci tim, pemain asal Kosovo ini masih belum mampu mengisi peran Emiliano Buendia. Dari 23 penampilan, baru satu gol yang dicetaknya.
Rupanya, ini membuat performa lini depan tim ikut seret gol. Teemu Pukki memang masih diandalkan dan mampu mencetak 8 gol, tapi penyerang Timnas Finlandia ini tampak kesulitan.
Di lini belakang, meski sudah meminjam Ozan Kabak, yang di paruh musim lalu bermain di Liverpool, kebocoran lini belakang tampaknya menjadi masalah lain yang muncul.
Di sembilan laga awal, tak ada kemenangan yang diraih. Rekor kekalahan terbesar bahkan hadir di periode ini, saat Chelsea menang 7-0 di Stamford Bridge.
Kemenangan pertama baru didapat atas Brentford pada awal November 2021. Meski menang 2-1, pihak klub memilih berpisah dengan Daniel Farke, dan menggantinya dengan Dean Smith.
Di bawah komando eks pelatih Aston Villa ini, performa tim memang sedikit membaik. Mereka mampu lolos ke babak perdelapan final Piala FA dan mencatat 3 kemenangan dan 3 hasil imbang.
Tapi, situasinya sudah terlanjur berat. Mereka terlihat kalah kelas dengan tim-tim lain, baik saat bertahan maupun menyerang.
Di lini serang, hanya 18 gol yang mampu dicetak dari 29 pertandingan. Catatan gol terburuk di Liga Inggris musim ini. Di lini belakang, mereka kebobolan 63 gol. Catatan ini hanya kalah dari Leeds United (67 gol).
Dengan torehan 17 poin di posisi buncit klasemen dan 9 laga sisa, rasanya akan sulit buat Norwich lolos lagi dari ancaman degradasi. Dalam 8 pertandingan terakhir saja, hanya 1 hasil imbang dan 7 kekalahan beruntun yang dicatat.
Apalagi, 4 dari 9 lawan mereka adalah tim pemburu tiket Eropa, yakni Tottenham Hotspur, West Ham, Manchester United, dan Wolverhampton Wanderers. Itu masih belum termasuk tim yang sedang dalam tren positif seperti Aston Villa dan Newcastle United.
Andai akhirnya terdegradasi, tapi promosi lagi musim depan, kita boleh menyimpulkan, Norwich City mungkin tim kuat di kasta kedua, tapi belum cukup kuat untuk bisa bertahan dari degradasi di kasta tertinggi.
Fenomena ini sudah berulang selama empat tahun terakhir, dan bisa saja berlanjut, kecuali mereka menurun setelah ini.
Menariknya, siklus yo-yo ala Norwich City ini menunjukkan, sebuah tim yang sukses berbenah dan mampu naik kelas tetap perlu berbenah. Dalam kompetisi yang serba dinamis, pembenahan secara kontinyu perlu rutin dilakukan, supaya tim dapat tetap bersaing di level tertinggi.
Jika tidak sesering apapun tim itu naik ke kasta tertinggi, dia akan tetap jadi bulan-bulanan, karena kualitas aslinya memang kalah kelas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H