Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Di Balik Ketertinggalan Zona OFC

18 Maret 2022   05:33 Diperbarui: 18 Maret 2022   10:28 1173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Konfederasi Sepakbola Oseania (Oceaniafootball.com)

Bicara soal konfederasi sepak bola tingkat benua di dunia, kebanyakan orang mungkin tak kesulitan untuk mengurutkan dari segi level kualitas dan perkembangan

Di tingkat teratas, ada UEFA (Eropa) dan CONMEBOL (Amerika Selatan) yang sama-sama pernah juara dunia. Di tingkat kedua, ada CAF (Afrika), Concacaf (Amerika Utara,. Amerika Tengah dan Karibia) dan AFC (Asia) yang sama-sama sedang berkembang.

Memang, dalam hal perkembangan, AFC tergolong lambat, tapi masih berada di level yang sama. Boleh dibilang, ketertinggalannya tidak jauh dengan Concacaf dan CAF.

Pesatnya perkembangan di Asia Timur (khususnya Korea Selatan dan Jepang), Australia, dan Timur Tengah menjadi kunci. AFC sendiri sudah rutin mengirimkan wakilnya di Piala Dunia sejak edisi 1978.

Di tingkat ketiga atau terakhir, ada OFC alias Konfederasi Sepakbola Oseania. Konfederasi ini beranggotakan Selandia Baru dan negara-negara di bagian timur Samudera Pasifik (antara lain Papua Nugini, Tahiti dan Vanuatu).

Kenapa zona OFC berada di posisi buncit?

Sebenarnya, konfederasi yang berdiri pada tahun 1966 ini punya dua negara kuat, yakni Australia dan Selandia Baru.

Tapi, bergabungnya Australia ke AFC tahun 2006 membuat zona Oseania hanya tinggal punya Selandia Baru sebagai jagoan terkuat, dari total 11 negara anggota tetap plus 2 negara "associate" (belum bergabung dengan FIFA) yakni Tuvalu dan Kiribati.

Dalam hal nama pesepakbola populer, sepeninggal Australia, zona Oseania tidak punya banyak nama familiar di mata pecinta sepak bola dunia. Kalaupun ada, umumnya berasal dari Selandia Baru.

Chris Wood, penyerang Newcastle United asal Selandia Baru (Skysports.com)
Chris Wood, penyerang Newcastle United asal Selandia Baru (Skysports.com)
Pada dekade 2000-an, The All Whites punya Ryan Nelsen (eks pemain Blackburn Rovers) sebagai nama terkenal. Di era kekinian, tongkat estafet itu dipegang Chris Wood, penyerang yang saat ini memperkuat Newcastle United usai diboyong dari Burnley bulan Januari 2022.

Pindahnya Australia ke AFC sendiri antara lain disebabkan karena persaingan di OFC kurang kompetitif, dan peluang lolos ke Piala Dunia tergolong kecil, karena hanya ada satu tiket play-off kualifikasi yang diperebutkan.

Kalaupun dapat tiket, peluang lolosnya tidak cukup besar, karena masih harus bertarung dengan wakil zona lain, bisa dari CONMEBOL, Concacaf atau AFC.

Itulah sebabnya, jumlah penampilan wakil OFC di Piala Dunia masih sangat sedikit. Tercatat, hanya Selandia Baru (1982 dan 2010) dan Australia (1974 dan 2006) saja yang pernah tampil di putaran final.

Prestasi tertinggi wakil OFC di Piala Dunia adalah perdelapan final Piala Dunia 2006. Kala itu, Australia lolos ke putaran final sebagai wakil OFC, setelah Harry Kewell dkk menang adu penalti atas Uruguay di babak play off kualifikasi.

Selebihnya, wakil OFC rutin tampil di Piala Dunia U-17 dan U-20. Sepeninggal Australia, Selandia Baru memang rutin
tampil di sini. Tapi, mulai tampilnya negara-negara seperti Kaledonia Baru, Kepulauan Solomon dan Papua Nugini menunjukkan, ada perkembangan di sini, walaupun masih sedikit.

Kurang bagusnya aspek kompetitif di zona Oseania juga disebabkan oleh minimnya jumlah infrastruktur pendukung yang memadai, khususnya di luar Selandia Baru, negara yang sudah mulai menggulirkan kompetisi profesional sendiri.

Soal kompetisi liga domestik, sejak tahun 2021, Selandia Baru sudah mulai menggulirkan "National League" dengan 10 tim peserta.

Uniknya, Wellington Phoenix, salah satu tim peserta liga ini, berkompetisi di dua negara berbeda. Tim utamanya berkompetisi di liga Australia sejak musim 2007-2008, sementara tim juniornya berkompetisi di "National League" Selandia Baru.

Di luar Selandia Baru, pembangunan infrastruktur pendukung masih sulit. Maklum, kebanyakan negara Oseania kebanyakan berbentuk pulau atau kepulauan yang ukurannya tidak terlalu besar. Jadi, agak sulit membangun stadion, apalagi yang bertaraf internasional, di sini.

Kalaupun ada negara yang cukup besar, yakni Papua Nugini, kondisi perekonomian dan keamanannya masih kurang memadai. Akibatnya, kompetisi sepak bola di wilayah ini umumnya masih bersifat semiprofesional.

Ditambah lagi, sepakbola masih kalah populer dengan rugbi. Kasusnya kurang lebih mirip dengan di Asia Selatan, dimana olahraga kriket jauh lebih populer.

Dengan kondisi seperti ini, sulit buat federasi-federasi di sana, untuk membangun tim nasional berkualitas. Jangankan membangun tim, menemukan pemain saja sulit.

Ketimpangan ini antara lain terlihat dari kiprah Timnas Tahiti di Piala Konfederasi 2013. Datang ke Brasil sebagai juara Piala OFC 2012, The Iron Warriors hanya diperkuat satu pemain profesional, yakni Marama Vahirua.

Starting eleven Timnas Tahiti di Piala Konfederasi 2013, dengan Marama Vahirua (nomor punggung 3) sebagai ujung tombak (Sportskeeda.com)
Starting eleven Timnas Tahiti di Piala Konfederasi 2013, dengan Marama Vahirua (nomor punggung 3) sebagai ujung tombak (Sportskeeda.com)
Penyerang yang kala itu berusia 33 tahun memang bermain di AS Nancy Lorraine (Prancis). Tapi, dia bukan pemain utama di sana. Alhasil, tim asuhan Eddy Etaeta jadi bulan-bulanan lawan di fase grup. Mereka kalah 1-6 dari Nigeria, 0-10 dari Spanyol, dan 0-8 dari Uruguay.

Dari sini saja, sudah terlihat seberapa jauh ketertinggalan mereka dibanding konfederasi lain. Tapi, sedikit harapan muncul, seiring dipastikannya jatah satu tiket otomatis di Piala Dunia 2026, yang akan melibatkan 48 negara peserta.

Mungkin, ini terlihat sederhana, tapi sebuah pengalaman bertanding di kompetisi besar bisa (minimal sedikit) membantu sebuah tim untuk berkembang.

Di sisi lain, apa yang terjadi di zona Oseania ini menunjukkan, pentingnya keberadaan kompetisi profesional dalam memajukan kualitas persepakbolaan di suatu negara atau regional.

Semakin bagus tata kelolanya, (seharusnya) semakin baik kualitas pemain yang dihasilkan. Andai tak memungkinkan, perlu ada keberanian untuk memanfaatkan kesempatan bermain di liga dengan kualitas kompetisi lebih baik, supaya dapat semakin berkembang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun