Bicara soal konfederasi sepak bola tingkat benua di dunia, kebanyakan orang mungkin tak kesulitan untuk mengurutkan dari segi level kualitas dan perkembangan
Di tingkat teratas, ada UEFA (Eropa) dan CONMEBOL (Amerika Selatan) yang sama-sama pernah juara dunia. Di tingkat kedua, ada CAF (Afrika), Concacaf (Amerika Utara,. Amerika Tengah dan Karibia) dan AFC (Asia) yang sama-sama sedang berkembang.
Memang, dalam hal perkembangan, AFC tergolong lambat, tapi masih berada di level yang sama. Boleh dibilang, ketertinggalannya tidak jauh dengan Concacaf dan CAF.
Pesatnya perkembangan di Asia Timur (khususnya Korea Selatan dan Jepang), Australia, dan Timur Tengah menjadi kunci. AFC sendiri sudah rutin mengirimkan wakilnya di Piala Dunia sejak edisi 1978.
Di tingkat ketiga atau terakhir, ada OFC alias Konfederasi Sepakbola Oseania. Konfederasi ini beranggotakan Selandia Baru dan negara-negara di bagian timur Samudera Pasifik (antara lain Papua Nugini, Tahiti dan Vanuatu).
Kenapa zona OFC berada di posisi buncit?
Sebenarnya, konfederasi yang berdiri pada tahun 1966 ini punya dua negara kuat, yakni Australia dan Selandia Baru.
Tapi, bergabungnya Australia ke AFC tahun 2006 membuat zona Oseania hanya tinggal punya Selandia Baru sebagai jagoan terkuat, dari total 11 negara anggota tetap plus 2 negara "associate" (belum bergabung dengan FIFA) yakni Tuvalu dan Kiribati.
Dalam hal nama pesepakbola populer, sepeninggal Australia, zona Oseania tidak punya banyak nama familiar di mata pecinta sepak bola dunia. Kalaupun ada, umumnya berasal dari Selandia Baru.
Pada dekade 2000-an, The All Whites punya Ryan Nelsen (eks pemain Blackburn Rovers) sebagai nama terkenal. Di era kekinian, tongkat estafet itu dipegang Chris Wood, penyerang yang saat ini memperkuat Newcastle United usai diboyong dari Burnley bulan Januari 2022.