Menyusul penertiban pemerintah terkait bisnis "money game" berkedok investasi, atau sederhananya disebut "investasi bodong" saya merasa tergelitik untuk sedikit membahasnya, sambil mengeluarkan unek-unek saya, yang sebenarnya sudah tersimpan selama bertahun-tahun.
Selama ini, saya menyimpannya karena lebih banyak melihat, tapi hanya bisa diam, karena tidak mau ikut campur. Apalagi, investasi bodong ini kerap berubah bentuk, mengikuti tren yang ada.
Di masa SMA dulu, saya sempat mendengar selentingan soal investasi atau "bisnis" dari teman-teman.
Kebanyakan dari mereka bergabung dan menggandeng temannya, karena tergiur promosi. Konon, dengan bergabung menjadi "pebisnis" di sana, bisa mendapatkan pemasukan besar dalam waktu singkat.
Semua keinginan bisa dicapai, dan bisa membantu orang tua. Tak usah repot-repot cari kerja, tinggal ajak teman-teman dan dapat uang. Semakin banyak semakin bagus.
Sebuah cara cepat kaya yang terlihat mudah. Tak perlu ritual atau tumbal aneh-aneh, uang akan datang, bahkan saat sedang rebahan. Konon katanya.
Makanya, jumlah remaja atau mahasiswa yang tertarik bergabung cukup banyak. Mereka jadi pangsa pasar menarik di Yogyakarta, yang notabene merupakan kota pelajar.
Bagi yang berasal dari kalangan menengah ke bawah, ini mungkin menarik, terlihat mudah, walaupun sebenarnya "too good to be true."
Tapi, saat saya iseng-iseng menanyakan kepada teman-teman dari kalangan berada, kebanyakan dari mereka malah lebih memilih ikut judi saja, karena caranya lebih simpel, tidak perlu repot-repot merekrut orang, tinggal main, sambil senang-senang.
Tekor atau kena ciduk aparat ditanggung sendiri, untung pun dimakan sendiri. Tidak kepalang tanggung seperti money game.
Makanya, tidak banyak orang kaya, "crazy rich" atau sebangsanya yang ikut bermain money game. Kecuali, mereka punya uang tak terpakai yang ingin dibuang, saking kayanya atau memang masih punya sisi serakah kelewat besar.