Dalam sedekade terakhir, kedatangan pemain keturunan Indonesia cukup sering terjadi. Dimulai dari Irfan Bachdim (Indonesia-Belanda) di tahun 2010, daftar namanya terus bertambah.
Meski ada yang kurang sukses, seperti Tonnie Cussel dan Jhonny Van Beukering (Belanda), adanya cerita sukses seperti Sergio Van Dijk dan Stefano Lilipaly (Belanda) tetap membuat strategi "merekrut" pemain keturunan Indonesia menarik, bahkan terus berlanjut.
Strategi ini dinilai lebih efektif dan praktis ketimbang naturalisasi pemain asing. Tanpa perlu menunggu sampai beberapa tahun, pemain keturunan Indonesia bisa langsung jadi WNI dan memperkuat Timnas Indonesia.
Di Piala AFF 2020 saja, ada nama Ezra Walian (Indonesia-Belanda) dan Elkan Baggott (Inggris-Indonesia). Dua pemain blasteran ini bahkan sukses mencetak masing-masing 2 gol dan 1 gol, kala Tim Garuda lolos ke final.
Daftar nama personel blasteran ini berpotensi akan bertambah, karena Sandy Walsh (Belgia), Jordi Amat (Spanyol), Ragnar Oratmangoen (Belanda), dan Mees Hilgers (Belanda). Keempatnya disebut-sebut sedang dalam proses naturalisasi, dan tinggal menunggu waktu saja.
Dari keempatnya, Jordi Amat dan Sandy Walsh tergolong sudah berusia matang. Jordi Amat berusia 30 tahun, sementara Sandy Walsh 27 tahun pada bulan Maret 2022. Satu nama lagi, yakni Ragnar Oratmangoen, berusia 24 tahun per akhir Januari 2022.
Melihat usianya, mereka jelas akan diplot untuk Timnas Indonesia senior. Nama terakhir, yakni Mees Hilgers bisa ditarik juga ke Timnas U-23, karena bek FC Twente ini baru berusia 21 tahun pada bulan Mei 2022.
Secara keterampilan, mereka mungkin punya nilai plus yang bisa dipercaya, karena dibina oleh sistem pembinaan usia muda khas Eropa, dan pernah (atau sedang) bermain di kompetisi kasta tertinggi Eropa.
Sebagai informasi, Jordi Amat dan Sandy Walsh sama-sama bermain di Liga Belgia, masing-masing memperkuat KV Mechelen dan KAS Eupen. Mees Hilgers dan Ragnar Oratmangoen masing-masing memperkuat FC Twente dan Go Ahead Eagles di Eredivisie Belanda.
Dengan profil mereka, ditambah status sebagai pemain reguler di tim masing-masing, sepertinya Timnas Indonesia akan punya tambahan kekuatan yang menarik.
Tapi, melihat bagaimana rekam jejak pemain keturunan di Indonesia, rasanya agak sulit untuk melihat mereka bisa awet bermain di Eropa, segera setelah dinaturalisasi menjadi WNI.
Penyebabnya, sekali menjadi WNI, mereka akan dihitung sebagai "pemain non-Eropa". Di beberapa liga Eropa, ada batasan kuota jumlah "pemain non-Eropa" dalam satu tim.
Di La Liga Spanyol dan Liga Italia misalnya, satu tim hanya boleh memiliki maksimal 3 "pemain non-Eropa" dalam satu tim. Di Inggris, syaratnya bahkan lebih ketat, yakni pemain asing dibatasi hanya dari negara yang ranking FIFA Timnasnya berada di posisi 50 besar dunia.
Untuk pemain non-Eropa, klub-klub Eropa cenderung lebih sering merekrut pemain Afrika atau Amerika Selatan. Kalaupun ada yang dari Asia, kualitas mereka biasanya berada di atas rata-rata pemain lokal setempat.
Berhubung ranking FIFA Timnas Indonesia masih berada di luar 100 besar, dan Indonesia melarang adanya kewarganegaraan ganda, peluang para pemain keturunan ini bertahan lama di Eropa cukup terbatas.
Mereka umumnya dianggap sebagai "pemain asing dengan kualitas pemain lokal", jadi tidak banyak yang bisa awet di Eropa. Praktis, kalaupun mereka bermain di luar negeri, posisinya berada di seputaran Asia.
Irfan Bachdim misalnya, sejak dinaturalisasi, pemain jebolan FC Utrecht ini lebih banyak beredar di Indonesia. Di luar negeri, ia sempat mencicipi kompetisi Liga Jepang dan Thailand. Contoh lain ada pada Ezra Walian (24), yang sejak tahun 2019 beredar di Liga Indonesia.
Situasi ini bisa saja dialami Jordi Amat dkk, terutama jika kontrak mereka di klub masing-masing tak diperpanjang, dan mereka kesulitan mencari klub baru di Eropa, karena status pemain non-Eropa mereka.
Kecuali, jika mereka awalnya memang berstatus pemain utama, atau dinilai berkualitas di atas rata-rata pemain lokal setempat. Untuk kasus ini, Jordi Amat mungkin masuk kriteria, karena pernah bermain di Liga Inggris bersama Swansea City dan La Liga Spanyol, antara lain bersama Espanyol.
Kemungkinan mereka bertahan juga terbuka, jika mereka adalah pemain "home grown", dan liganya memang mewajibkan klub punya pemain "home grown" seperti pada kasus Elkan Baggott.
Pemain didikan akademi Ipswich Town ini masih bertahan di klub kasta ketiga Liga Inggris, dengan ikatan kontrak sampai tahun 2023 plus opsi perpanjangan.
Situasi ini memungkinkannya bertahan di Inggris, meski ranking FIFA Timnas Indonesia belum masuk kriteria. Karena ini jugalah, minat FC Tokyo (Jepang) padanya belum sampai ke tahap lanjut, karena harga transfernya tidak gratis.
Jika Elkan akhirnya bermain di Jepang, ia akan mengikuti jejak Irfan Bachdim dan Stefano Lilipaly.Â
Berhubung kurang bagusnya rekam jejak kelanjutan kiprah pemain keturunan Indonesia di Eropa, khususnya setelah dinaturalisasi, perlu ada perbaikan menyeluruh.
Mulai dari kualitas kompetisi, pembinaan usia muda, sampai peringkat FIFA Timnas Indonesia, semua harus konsisten diperbaiki dan ditingkatkan kualitasnya.
Soal kualitas kompetisi dan pembinaan usia muda, perlu konsistensi dan komitmen jangka panjang. Untuk jangka pendeknya, PSSI bisa memulai dengan rutin mengadakan uji coba di jeda internasional, supaya peluang Tim Garuda memperbaiki peringkat FIFA terus terjaga.
Tak masalah jika lawannya "hanya" Bangladesh atau Taiwan, yang penting rutin mendapat hasil positif dan peningkatan kualitas dari pengalaman bertanding.
Dengan demikian, siapapun pelatih Timnas Indonesia, ia tidak perlu repot-repot lagi mengontak pemain keturunan Indonesia di luar negeri. Sebaliknya, pemain keturunan lah yang berlomba-lomba mendekati, tanpa takut karir bermain "turun kelas".
Persis seperti di Belanda, Belgia, Jerman atau Prancis. Seperti diketahui, tim-tim raksasa Eropa ini banyak dipilih pemain keturunan imigran asing, karena punya pembinaan pemain muda dan timnas berkualitas.
Bukan cuma itu, jika pembinaan usia muda di Indonesia dapat berjalan dengan baik, Liga Indonesia bisa punya pemain "kualitas ekspor" dan tim nasional yang oke.
Ini semua memang butuh komitmen dan waktu yang tidak instan, tapi tak ada hasil tanpa melalui proses kan?
Di sisi lain, siapapun mereka, kedatangan pemain keturunan di Timnas Indonesia menunjukkan, seberapa besar kesungguhan mereka untuk membela Timnas Indonesia.
Sekalipun risikonya karir bermain bisa "turun kelas", mereka rela menukarnya dengan rasa bangga, karena bisa mengenakan lambang Garuda di dada.
Seharusnya, kesungguhan hati seperti inilah yang patut ditiru, karena nama negara lebih dikedepankan, ketimbang kepentingan golongan. Sesuatu yang belakangan timbul tenggelam di sepak bola nasional, tempat dimana "sistem kuota jumlah pemain per klub" dan kompetisi yang masih jalan saat Timnas Indonesia bertanding.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H