Uniknya, cara yang sama, yakni "jurus kompor meleduk" juga diterapkan senior lainnya, saat menyarankan satu topik tulisan politik, topik yang menurut saya "panas" seperti jeroan daging ayam.
Awalnya, saya memilih untuk menulis seperlunya, karena ada beberapa senior yang menyarankan untuk tidak sering-sering menulis topik satu ini.
Tapi, saat ada yang "mengompori", selama data dan informasinya valid, serta bebas beropini sebagai diri sendiri, semua bisa diatur. Â
Dari sini, keberanian itu mulai datang, dan pelan-pelan membuat diri lebih berkembang, dengan semua terjadi begitu saja. Hal seperti inilah, yang jadi guru buat penulis amatir bin otodidak seperti saya.
Proses ini sendiri sebetulnya tidak sebentar, tapi nilai manfaat dan progresnya semakin berkembang, karena boleh terus ditekuni.
Inilah yang membuat saya merasa betah di Kompasiana. Selain bebas jadi diri sendiri, lewat menulis, saya juga bisa melakukan terapi psikologi rutin, seperti disarankan oleh seorang psikolog (yang juga seorang penulis buku) kepada saya di satu kesempatan. Sebuah terapi sederhana yang cukup menyenangkan.
Terlepas dari berbagai drama yang ada, adanya ruang untuk lebih berkembang secara personal dan kemampuan, adalah satu paket hadiah sangat berharga.
Di satu momen, "dikompori" memang bisa jadi menjengkelkan, tapi "kompor" bisa jadi satu medium yang mematangkan atau mendorong pertumbuhan ke arah positif, selama itu masuk akal dan tujuannya baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H